Thursday, January 16, 2014

Ahsan: Journey in Pondok! #1


Mandalawangi, 30 Juli 2008
Perlahan-lahan dan dengan sangat hati-hati, aku melihat-lihat kesekeliling loteng Asrama. Aku sudah berada di Asrama Lantai 2 ditangga kamar mandi belakang. Beberapa kali aku mencoba melihat kebawah untuk memastikan tidak ada orang. Bunyi kucuran air menggeru-geru didalam tangki air memberikan efek menegangkan dan mempercepat degup detak jantungku. Sesekali bunyi keran didalam kamar mandi mengocor dengan sendirinya menandakan ada orang yang sedang menggunakannya. Tidak buang waktu setelah keadaan aku rasa cukup aman, aku langsung melompat keatas tembok. Aku memanjat dengan gesit dan dengan sangat hati-hati. Sekali dua kali kakiku menendang-nendang diudara dan hup…! Tanganku mencoba untuk mengangkat badanku sendiri. Akhirnya aku sampai diatas loteng.

Aku berjalan ketengah dengan sedikit menunduk, sekarang sampailah ditujuanku. Loteng atas Asrama. Loteng ini adalah tempat favoritku dipondok. Selain nyaman dan hening, dengan latar langit yang berwarna biru aku dapat melihat dengan jelas Gunung Aseupan yang berdiri gagah menantang awan-awan yang berjalan ringan seolah-olah mencoba untuk melewatinya. Dibawah gunung, terhampar pesawahan yang sangat luas milik orang-orang sekitar Desa Mandalawangi, sesekali aku melihat petani dan kerbaunya yang sedang suka hati membajak sawah yang subur. Sangat indah. Aku juga melihat dan mendengar kicauan burung yang sedang kejar-kejaran diudara. Sejenak aku memejamkan mata, perlahan aku mencoba untuk menarik napas sambil meresapi alam yang sedang ada disekitarku, udara pegunungan Mandalawangi perlahan masuk kedalam rongga dadaku. Setelah sesak dan dadaku mulai terasa sempit aku buang napas perlahan dari mulut. “Fuuuuu…. hhh!” Begitu nikmat dan segar sekali. Di Loteng ini adalah tempat dimana aku ingin sendiri, merenung dan berkhayal cita, dan tempat aku membangun mimpi.

Tidak terasa aku sudah satu tahun berada dipondok ini dan sekarang aku sudah duduk dibangku kelas 2. Tiba-tiba pikiranku menerawang jauh pada kejadian awal mula aku kepondok.

***

Carita, 28 Mei 2007
“San… Ahsan…! Ayo cepat kita mau berangkat sekarang, bapak lagi manggil ojeg buat kamu! Sebentar lagi datang.” Ibuku memperingatkanku dengan gaya khasnya, sambil menyiapkan beberapa bekal makanan yang akan dibawa. Sibuk.

“Iya… Bu!”. Aku menjawab malas.

Dari awal aku memang tidak mau masuk pondok, aku mendapatkan hasutan dari teman-teman sekampungku, kalo tinggal dipondok itu tidak enak. Gak ada TV, gak bisa bebas bermain, gak ada PS, harus nyuci sendiri, masak sendiri, teman-temannya nakal semua, guru-gurunya galak-galak, disiplinnya ketat banget, dan masih banyak lagi keresahan yang mereka tularkan kepadaku.

            “Enakan sekolah di SMP biasa san, sekolah dipondok udah pasti gak enak! Komo lamun katimu babaturan anu badung-badung! Geus moal betah lah maneh mah. Apalagi kalo ketemu sama temen-temen yang nakal, pasti kamu gak bakalan betah deh!”. Kata Jefry salah satu teman bermainku di kampung mencoba untuk menghasutku.

Aku semakin bimbang sejak kejadian itu, haruskah aku egois mengikuti keinginanku ataukah aku menurut dan patuh pada kedua orangtuaku. Disamping itu hatiku kecilku tetap memilih untuk taat kepada orangtua, aku mempunyai keyakinan orangtua bertindak seperti ini bukan karena benci, melainkan karena sayang pada anaknya.

***

Angin berhembus menerpa mukaku sejuk, sudah hampir 15 menit aku menumpangi motor Mang Pulung, dengan tubuhnya yang gempal dan energik dia sangat gesit menjalankan tugasnya. Tikungan tajam, jalan mendaki, tak menghalangi kepiawaian dia dalam mengendarai motor. Sepanjang jalan aku hanya melihat alam yang diselimuti kehijauan, pepohonan yang rimbun dan jalan yang berundak-undak disertai ranjau lubang yang hampir ikut serta disetiap jalan. Aku melintasi jalan alternative Caringin menuju Pandeglang. Kata Mang Pulung Pondok yang akan aku tuju sudah tidak jauh lagi. Waktu yang dibutuhkan untuk sampai kepondok itu sekitar 30 sampai 60 menit dari rumahku. Tapi semakin aku menghitung waktu, aku merasa semakin lama dan semakin merasa jauh.
Sementara Ibuku naik motor bersama Bapakku mengikuti motor Mang Pulung dari belakang.

“Mang masih lama gak?” Aku bertanya untuk yang ketiga kalinya.

“Tenang, kedeung deui geh sampe. bentar lagi sampe ko, udah deket tinggal ngelewatin tanjakan bangangah yeuh!” Sedikit berteriak Mang Pulung menjawab.

Tanjakan Bangangah merupakan tanjakan yang paling terjal dan curam lagi panjang yang ada dijalan alternative Caringin – Pandeglang. Motor Mang Pulung menggeram-geram dengan buas berusaha mengeluarkan tenaga paling maksimal melawan tanjakan ini, namun motor Mang pulung masih tetap merayap pelan sambil berkelok-kelok kekenan dan kekiri. Sementara aku terus berdo’a dan berdzikir semoga motor ini bisa cepat sampai diatas.

Setelah 2 samapai 3 menitan akhirnya kami berhasil melewati tanjakan curam itu, iseng aku menengok melihat kembali tanjakan kebawah dan Subhanallah… Pemandangan dari atas tanjakan ini sungguh luar biasa indah. Aku dapat melihat hamparan alam luas membentang hijau selepas jauh mata memandang dan diujung bawah aku melihat garis pinggir pantai dan daratan Daerah Labuan dan Carita lengkap dengan cakrawalanya. Baru pertama kali aku melihat pemandangan yang seindah ini.

***

Akhirnya aku tiba didepan gerbang Pondok yang akan aku tempati, Pondok Al-Falaah. Aku sempat kaget ketika melihat gerbang dan bangunannya. Benarkah ini adalah sebuah Pondok Pesantren? Atau malah sekolah elit. Bangunan yang berdiri kokoh dengan atap yang sangat lebar, disertai taman hijau yang rapih nan bersih dengan list bunga berwarna ungu berbaris rapih mengitari pinggiran taman, ada juga tiga pohon palem yang berdiri tegak ditengah-tengah halaman disamping Masjid. Sejuk, tentram dan damai. “Aku rasa aku mulai tertarik dengan pondok ini, bisakah aku sekolah disini?” Gumamku dalam hati.

Didepan Lobi utama aku dapat menyaksikan Gunung Pulo Sari yang berdiri gagah. Gunung ini berwarna hijau membentuk gambar segitiga, gunung ini mengingatkan aku dengan gambar-gambar yang sering aku buat di SD ketika pelajaran menggambar. Ternyata Gunung yang benar-benar berbentuk segitiga itu memang benar ada wujudnya. Dan gunung itu ada tepat persis didepanku sekarang didepan Pondok Al-Falaah.

Dilobi utama pesantren, aku dan orangtuaku disambut dengan ramah oleh santri yang sedang Bulish nahr atau piket siang. Mereka menebar senyum kemudian menawarkan apa yang mereka bisa bantu. Setelah mengobrol ringan dengan kedua orangtuaku akhirnya kami diajak untuk berkeliling dan melihat-lihat Pondok. Aku di ajak ke tempat-tempat yang biasa digunakan kegiatan oleh para santri. Aku diajak berkeliling ke Kelas, Masjid, Asrama, Kamar Mandi Asrama, Jemuran Belakang Asrama, Tempat Cuci Baju, dan Dapur. Pondok ini mempunyai 2 kampus. Kampus pertama berada di Bangkong dan kampus kedua berada di Pari yang sekarang sedang aku kunjungi. Asrama yang ada di kampus 2 ini terdiri dari 2 lantai, asrama bawah merupakan asrama putra dan asrama atas merupakan asrama putri.

Setelah puas berkeliling pondok tidak terasa suara adzan berkumandang. Dan kami bergegas untuk pergi ke Masjid terlebih dahulu. Disini aku melihat para santri keluar dari kelasnya dan bergegas pergi ke Masjid guna menunaikan Sholat Dzuhur berjamaah. Aku terkesan sekali dengan suasana seperti ini. Ramai, nyaman, damai dan sejuk dihati. Aku suka sekali dengan pondok ini.

Aku dan orangtua-ku ikut sholat berjamaah dengan para santri, entah mengapa aku merasakan suasana hati yang beda yang tidak pernah aku dapati dalam kehiduapanku sebelumnya. Melihat para santri yang berdisiplin pergi ke masjid, makan, dan mengikuti kegiatan lainnya. Aku jadi ingat dengan Film Boboho Shaolin Temple yang sering aku lihat di TV. Di cerita Film Boboho mereka tinggal di sebuah Perguruan Shaolin dan mengikuti kegiatan yang padat dan mereka juga harus berdisiplin mengikutinya. Aku sangat suka sekali Film ini. Bahkan aku pernah berkhayal mungkin kalo aku tinggal dipondok ini aku bisa mandiri seperti tokoh-tokoh yang ada di Film Boboho. Ada juga satu Film Laga lainnya yang sangat aku gemari yaitu Film Jackie Chan. Aku sangat suka Film Jackie Chan, film ini mengajarkan aku bahwa hidup itu harus berbuat, harus berlatih, harus kuat, dan tidak kenal kata menyerah. Ko malah jadi cerita kemana-mana ini. Oke lanjut ke jalan cerita yang ada lagi sekarang. Hehehe

***

Setelah selesai sholat aku memutuskan dalam hati. Aku mau sekolah disini. Tapi aku belum berkata kepada orangtuaku. Aku masih menyimpannya sendiri dalam hati.

Ibuku menyuruh aku langsung daftar dan test lisan. Padahal aku belum menyiapkan apa-apa, aku belum belajar sebelumnya karena niat pertama aku ke pondok saat ini bukan untuk test! Tapi hanya untuk survey tempat saja. Aku bingung.

Dengan modal semangat, dan do’a dari orangtua aku mencoba untuk memberanikan diri. Aku dipanggil ke ruangan yang berada di Loby atas. Aku bertemu dengan seorang Ustadzah muda yang cantik nan anggun, belakangan ini aku tau ternyata dia adalah Ustadzah Umi. Dia sangat ramah dan mempersilahkan aku duduk. Pertama-tama aku test Imla, yang kedua baru Baca Al-Qur’an. Aku menjawab semua pertanyaan dengan semampu yang aku bisa.

Testing yang diadakan Pondok ada 2 tahap. Tahap pertama ada Test Lisan yang baru saja aku ikuti, dan tahap kedua adalah Test Tulis yang nanti akan diselanggarakan ditanggal yang telah ditentukan, test tulis ini akan diikuti oleh seluruh calon santri yang telah mendaftar sebelumnya. Test Lisan terdiri dari Baca Al-Qur’an dan Imla (menulis arab) sementara Test Tulis yaitu testing pelajaran umum seperti pelajaran IPA, IPS, Matematika, Psycotest dan Bahasa Inggris.

Aku masih punya harapan di Test Tulis. Test Tulis akan diadakan 2 minggu lagi bareng disatu waktu yang telah di tentukan oleh pondok. 2 Minggu lagi aku akan bertemu kawan-kawan baru yang akan mengikuti test tulis bersamaan denganku. Aku akan menyiapkan sebaik mungkin, aku dengar orang yang sekolah di pondok ini bukan hanya orang-orang yang ada di Pandeglang tapi juga ada banyak yang dari luar Daerah Pandeglang. Seperti Tangerang, Serang, Lampung, Bali, Aceh, dan daerah-daerah lainnya. Maka dari itu aku harus berjuang dengan semaksimal mungkin, aku gak boleh minder dengan orang-orang itu. “Kalo mereka bisa, kenapa kamu nggak? Kamu pun pasti bisa!” Begitu kata Ibuku menyemangatiku untuk tetap berjuang.

Ada beberapa percakapan yang membuat hati-ku gusar. Ibu ku berkata padaku "San, ibu harap kamu mau belajar disini untuk memperdalam ilmu agama juga ilmu umum. Karena cuma disini kamu bisa dapet dunia juga akhirat. Apalagi kamu tau, ibu sama bapak ilmu agamanya nggak seberapa. Masih harus terus belajar lagi, makannya ibu sekolahkan kamu disini biar kamu bisa menggali dan mengajarkan ilmu agama khususnya ke orantua dan keluarga. Umumnya kepada umat manusia. Itu harapan ibu san! Kamu adalah anak laki-laki dan anak pertama, langkah-mu pasti akan jauh!" Sambil mengusap-usap kepalaku.

Waktu itu aku hanya diam dan bergumam dalam hati. "Iya aku harus bisa melanjutkan cita-cita kedua orangtuaku, aku harus bisa. Kalo bukan aku yang melanjutkannya? Siapa lagi? dan aku juga harus berbakti kepada orangtua. Merekalah yang sudah mengasuh-ku sampai saat ini. Kalo bukan sekrang aku berbakti? Kapan lagi?" Pikiran seperti ini sudah aku miliki walau baru seusia lulusan anak Sekolah Dasar.

Dari sinilah aku merasa ada sebuah perjalanan panjang yang akan aku tempuh. Ada sebuah amanat besar yang akan aku pegang. Ada harapan dan cita-cita luas yang akan aku raih. Ada dunia baru yang akan aku temui dan ada teman-teman baru yang akan menjadi keluargaku. Aku berharap semuanya akan berjalan lancar dan sesuai dengan apa yang aku dan orangtuaku harapkan. Do’a dan support mereka untukku tidaklah akan putus sampai kapanpun.

2 comments:

  1. keren banget lang! bagus buat jadi inspirasi banyak orang kalo pesantren itu gak seburuk yang kebanyakan orang kira :D
    ditunggu cerpen selanjutnya ;)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Makasih, jangan bosen ngikutin kisah Ahsan nya yah :D

      Delete