Mandalawangi, 30 Juli 2008
Perlahan-lahan dan
dengan sangat hati-hati, aku melihat-lihat kesekeliling loteng Asrama. Aku
sudah berada di Asrama Lantai 2 ditangga kamar mandi belakang. Beberapa kali
aku mencoba melihat kebawah untuk memastikan tidak ada orang. Bunyi kucuran air
menggeru-geru didalam tangki air memberikan efek menegangkan dan mempercepat
degup detak jantungku. Sesekali bunyi keran didalam kamar mandi mengocor dengan
sendirinya menandakan ada orang yang sedang menggunakannya. Tidak buang waktu
setelah keadaan aku rasa cukup aman, aku langsung melompat keatas tembok. Aku
memanjat dengan gesit dan dengan sangat hati-hati. Sekali dua kali kakiku
menendang-nendang diudara dan hup…! Tanganku
mencoba untuk mengangkat badanku sendiri. Akhirnya aku sampai diatas loteng.
Aku berjalan ketengah
dengan sedikit menunduk, sekarang sampailah ditujuanku. Loteng atas Asrama.
Loteng ini adalah tempat favoritku dipondok. Selain nyaman dan hening, dengan
latar langit yang berwarna biru aku dapat melihat dengan jelas Gunung Aseupan
yang berdiri gagah menantang awan-awan yang berjalan ringan seolah-olah mencoba
untuk melewatinya. Dibawah gunung, terhampar pesawahan yang sangat luas milik
orang-orang sekitar Desa Mandalawangi, sesekali aku melihat petani dan
kerbaunya yang sedang suka hati membajak sawah yang subur. Sangat indah. Aku juga
melihat dan mendengar kicauan burung yang sedang kejar-kejaran diudara. Sejenak
aku memejamkan mata, perlahan aku mencoba untuk menarik napas sambil meresapi alam
yang sedang ada disekitarku, udara pegunungan Mandalawangi perlahan masuk
kedalam rongga dadaku. Setelah sesak dan dadaku mulai terasa sempit aku buang
napas perlahan dari mulut. “Fuuuuu…. hhh!”
Begitu nikmat dan segar sekali. Di Loteng ini adalah tempat dimana aku
ingin sendiri, merenung dan berkhayal cita, dan tempat aku membangun mimpi.
Tidak terasa aku sudah
satu tahun berada dipondok ini dan sekarang aku sudah duduk dibangku kelas 2.
Tiba-tiba pikiranku menerawang jauh pada kejadian awal mula aku kepondok.
***
Carita,
28 Mei 2007
“San… Ahsan…! Ayo cepat kita mau
berangkat sekarang, bapak lagi manggil ojeg buat kamu! Sebentar lagi datang.”
Ibuku memperingatkanku dengan gaya khasnya, sambil menyiapkan beberapa bekal
makanan yang akan dibawa. Sibuk.
“Iya… Bu!”.
Aku menjawab malas.
Dari awal aku memang
tidak mau masuk pondok, aku mendapatkan hasutan dari teman-teman sekampungku,
kalo tinggal dipondok itu tidak enak. Gak ada TV, gak bisa bebas bermain, gak
ada PS, harus nyuci sendiri, masak sendiri, teman-temannya nakal semua,
guru-gurunya galak-galak, disiplinnya ketat banget, dan masih banyak lagi keresahan
yang mereka tularkan kepadaku.
“Enakan sekolah di SMP biasa san, sekolah dipondok udah
pasti gak enak! Komo lamun katimu babaturan
anu badung-badung! Geus moal betah lah maneh mah. Apalagi kalo ketemu sama
temen-temen yang nakal, pasti kamu gak bakalan betah deh!”. Kata Jefry salah satu teman bermainku di kampung mencoba
untuk menghasutku.
Aku semakin bimbang
sejak kejadian itu, haruskah aku egois mengikuti keinginanku ataukah aku
menurut dan patuh pada kedua orangtuaku. Disamping itu hatiku kecilku tetap
memilih untuk taat kepada orangtua, aku mempunyai keyakinan orangtua bertindak
seperti ini bukan karena benci, melainkan karena sayang pada anaknya.
***
Angin berhembus menerpa
mukaku sejuk, sudah hampir 15 menit aku menumpangi motor Mang Pulung, dengan
tubuhnya yang gempal dan energik dia sangat gesit menjalankan tugasnya. Tikungan
tajam, jalan mendaki, tak menghalangi kepiawaian dia dalam mengendarai motor. Sepanjang
jalan aku hanya melihat alam yang diselimuti kehijauan, pepohonan yang rimbun
dan jalan yang berundak-undak disertai ranjau lubang yang hampir ikut serta
disetiap jalan. Aku melintasi jalan alternative Caringin menuju Pandeglang.
Kata Mang Pulung Pondok yang akan aku tuju sudah tidak jauh lagi. Waktu yang
dibutuhkan untuk sampai kepondok itu sekitar 30 sampai 60 menit dari rumahku. Tapi
semakin aku menghitung waktu, aku merasa semakin lama dan semakin merasa jauh.
Sementara Ibuku naik
motor bersama Bapakku mengikuti motor Mang Pulung dari belakang.
“Mang
masih lama gak?” Aku bertanya untuk yang ketiga kalinya.
“Tenang,
kedeung deui geh sampe. bentar lagi sampe ko, udah deket tinggal ngelewatin tanjakan
bangangah yeuh!” Sedikit berteriak Mang Pulung menjawab.
Tanjakan Bangangah
merupakan tanjakan yang paling terjal dan curam lagi panjang yang ada dijalan alternative
Caringin – Pandeglang. Motor Mang Pulung menggeram-geram dengan buas berusaha
mengeluarkan tenaga paling maksimal melawan tanjakan ini, namun motor Mang
pulung masih tetap merayap pelan sambil berkelok-kelok kekenan dan kekiri.
Sementara aku terus berdo’a dan berdzikir semoga motor ini bisa cepat sampai diatas.
Setelah 2 samapai 3
menitan akhirnya kami berhasil melewati tanjakan curam itu, iseng aku menengok
melihat kembali tanjakan kebawah dan Subhanallah… Pemandangan dari atas
tanjakan ini sungguh luar biasa indah. Aku dapat melihat hamparan alam luas
membentang hijau selepas jauh mata memandang dan diujung bawah aku melihat
garis pinggir pantai dan daratan Daerah Labuan dan Carita lengkap dengan
cakrawalanya. Baru pertama kali aku melihat pemandangan yang seindah ini.
***
Akhirnya aku tiba
didepan gerbang Pondok yang akan aku tempati, Pondok Al-Falaah. Aku sempat
kaget ketika melihat gerbang dan bangunannya. Benarkah ini adalah sebuah Pondok
Pesantren? Atau malah sekolah elit. Bangunan yang berdiri kokoh dengan atap
yang sangat lebar, disertai taman hijau yang rapih nan bersih dengan list bunga
berwarna ungu berbaris rapih mengitari pinggiran taman, ada juga tiga pohon
palem yang berdiri tegak ditengah-tengah halaman disamping Masjid. Sejuk,
tentram dan damai. “Aku rasa aku mulai tertarik dengan pondok ini, bisakah aku
sekolah disini?” Gumamku dalam hati.
Didepan Lobi utama aku
dapat menyaksikan Gunung Pulo Sari yang berdiri gagah. Gunung ini berwarna hijau
membentuk gambar segitiga, gunung ini mengingatkan aku dengan gambar-gambar
yang sering aku buat di SD ketika pelajaran menggambar. Ternyata Gunung yang
benar-benar berbentuk segitiga itu memang benar ada wujudnya. Dan gunung itu
ada tepat persis didepanku sekarang didepan Pondok Al-Falaah.
Dilobi utama pesantren,
aku dan orangtuaku disambut dengan ramah oleh santri yang sedang Bulish nahr atau piket siang. Mereka
menebar senyum kemudian menawarkan apa yang mereka bisa bantu. Setelah mengobrol
ringan dengan kedua orangtuaku akhirnya kami diajak untuk berkeliling dan
melihat-lihat Pondok. Aku di ajak ke tempat-tempat yang biasa digunakan kegiatan
oleh para santri. Aku diajak berkeliling ke Kelas, Masjid, Asrama, Kamar Mandi
Asrama, Jemuran Belakang Asrama, Tempat Cuci Baju, dan Dapur. Pondok ini
mempunyai 2 kampus. Kampus pertama berada di Bangkong dan kampus kedua berada
di Pari yang sekarang sedang aku kunjungi. Asrama yang ada di kampus 2 ini
terdiri dari 2 lantai, asrama bawah merupakan asrama putra dan asrama atas
merupakan asrama putri.
Setelah puas
berkeliling pondok tidak terasa suara adzan berkumandang. Dan kami bergegas
untuk pergi ke Masjid terlebih dahulu. Disini aku melihat para santri keluar
dari kelasnya dan bergegas pergi ke Masjid guna menunaikan Sholat Dzuhur
berjamaah. Aku terkesan sekali dengan suasana seperti ini. Ramai, nyaman, damai
dan sejuk dihati. Aku suka sekali dengan pondok ini.
Aku dan orangtua-ku ikut
sholat berjamaah dengan para santri, entah mengapa aku merasakan suasana hati
yang beda yang tidak pernah aku dapati dalam kehiduapanku sebelumnya. Melihat
para santri yang berdisiplin pergi ke masjid, makan, dan mengikuti kegiatan lainnya.
Aku jadi ingat dengan Film Boboho Shaolin Temple yang sering aku lihat di TV.
Di cerita Film Boboho mereka tinggal di sebuah Perguruan Shaolin dan mengikuti
kegiatan yang padat dan mereka juga harus berdisiplin mengikutinya. Aku sangat
suka sekali Film ini. Bahkan aku pernah berkhayal mungkin kalo aku tinggal
dipondok ini aku bisa mandiri seperti tokoh-tokoh yang ada di Film Boboho. Ada
juga satu Film Laga lainnya yang sangat aku gemari yaitu Film Jackie Chan. Aku sangat
suka Film Jackie Chan, film ini mengajarkan aku bahwa hidup itu harus berbuat,
harus berlatih, harus kuat, dan tidak kenal kata menyerah. Ko malah jadi cerita
kemana-mana ini. Oke lanjut ke jalan cerita yang ada lagi sekarang. Hehehe
***
Setelah selesai sholat aku
memutuskan dalam hati. Aku mau sekolah disini. Tapi aku belum berkata kepada
orangtuaku. Aku masih menyimpannya sendiri dalam hati.
Ibuku menyuruh aku
langsung daftar dan test lisan. Padahal aku belum menyiapkan apa-apa, aku belum
belajar sebelumnya karena niat pertama aku ke pondok saat ini bukan untuk test!
Tapi hanya untuk survey tempat saja. Aku bingung.
Dengan modal semangat,
dan do’a dari orangtua aku mencoba untuk memberanikan diri. Aku dipanggil ke
ruangan yang berada di Loby atas. Aku bertemu dengan seorang Ustadzah muda yang
cantik nan anggun, belakangan ini aku tau ternyata dia adalah Ustadzah Umi. Dia
sangat ramah dan mempersilahkan aku duduk. Pertama-tama aku test Imla, yang
kedua baru Baca Al-Qur’an. Aku menjawab semua pertanyaan dengan semampu yang
aku bisa.
Testing yang diadakan Pondok
ada 2 tahap. Tahap pertama ada Test Lisan yang baru saja aku ikuti, dan tahap
kedua adalah Test Tulis yang nanti akan diselanggarakan ditanggal yang telah
ditentukan, test tulis ini akan diikuti oleh seluruh calon santri yang telah
mendaftar sebelumnya. Test Lisan terdiri dari Baca Al-Qur’an dan Imla (menulis
arab) sementara Test Tulis yaitu testing
pelajaran umum seperti pelajaran IPA, IPS, Matematika, Psycotest dan Bahasa
Inggris.
Aku masih punya harapan
di Test Tulis. Test Tulis akan diadakan 2 minggu lagi bareng disatu waktu yang
telah di tentukan oleh pondok. 2 Minggu lagi aku akan bertemu kawan-kawan baru
yang akan mengikuti test tulis bersamaan denganku. Aku akan menyiapkan sebaik
mungkin, aku dengar orang yang sekolah di pondok ini bukan hanya orang-orang
yang ada di Pandeglang tapi juga ada banyak yang dari luar Daerah Pandeglang. Seperti
Tangerang, Serang, Lampung, Bali, Aceh, dan daerah-daerah lainnya. Maka dari
itu aku harus berjuang dengan semaksimal mungkin, aku gak boleh minder dengan
orang-orang itu. “Kalo mereka bisa,
kenapa kamu nggak? Kamu pun pasti bisa!” Begitu kata Ibuku menyemangatiku
untuk tetap berjuang.
Ada beberapa percakapan yang membuat hati-ku gusar. Ibu ku berkata padaku "San, ibu harap kamu mau belajar disini untuk memperdalam ilmu agama juga ilmu umum. Karena cuma disini kamu bisa dapet dunia juga akhirat. Apalagi kamu tau, ibu sama bapak ilmu agamanya nggak seberapa. Masih harus terus belajar lagi, makannya ibu sekolahkan kamu disini biar kamu bisa menggali dan mengajarkan ilmu agama khususnya ke orantua dan keluarga. Umumnya kepada umat manusia. Itu harapan ibu san! Kamu adalah anak laki-laki dan anak pertama, langkah-mu pasti akan jauh!" Sambil mengusap-usap kepalaku.
Waktu itu aku hanya diam dan bergumam dalam hati. "Iya aku harus bisa melanjutkan cita-cita kedua orangtuaku, aku harus bisa. Kalo bukan aku yang melanjutkannya? Siapa lagi? dan aku juga harus berbakti kepada orangtua. Merekalah yang sudah mengasuh-ku sampai saat ini. Kalo bukan sekrang aku berbakti? Kapan lagi?" Pikiran seperti ini sudah aku miliki walau baru seusia lulusan anak Sekolah Dasar.
Dari sinilah aku merasa
ada sebuah perjalanan panjang yang akan aku tempuh. Ada sebuah amanat besar
yang akan aku pegang. Ada harapan dan cita-cita luas yang akan aku raih. Ada
dunia baru yang akan aku temui dan ada teman-teman baru yang akan menjadi
keluargaku. Aku berharap semuanya akan berjalan lancar dan sesuai dengan apa
yang aku dan orangtuaku harapkan. Do’a dan support
mereka untukku tidaklah akan putus sampai kapanpun.
keren banget lang! bagus buat jadi inspirasi banyak orang kalo pesantren itu gak seburuk yang kebanyakan orang kira :D
ReplyDeleteditunggu cerpen selanjutnya ;)
Makasih, jangan bosen ngikutin kisah Ahsan nya yah :D
Delete