Ahsan: Journey in Pondok #4 (Hari Yang Menjanjikan)
“Lamun
hirup dipondok kudu sing hati-hati, ulah loba lalaga jeung kudu nurut ka guru.
Ulah pikaseubeleun batur …” Kata Nenekku menasehati.
“Iyah
ndek …” Aku mengangguk-angguk seperti burung beo.
“Ini
ada bungkusan tanah, nanti pas mau berangkat dibawa yah, terus nanti kalo udah
sampe pondok taro dibawah tempat tidur, biar kamu betah tinggal disana”
Sambil memberikan satu bungkusan pelastik kecil yang biasa di pakai untuk
bungkus es kenyot, bedanya pelastik yang diberikan kepadaku saat ini berisi
tanah.
“Emang
bisa ngaruh ya ndek? Hehe” Aku sedikit tidak percaya dengan
teori kolot ini.
“Udah
kamu simpen aja, ulah loba tanya, pamali!” Kilah Nenekku.
Memang didaerahku masih banyak sekali orang-orang yang memegang adat. Apalagi sesepuh-sesepuh kampungku. Mereka masih sangat erat memegang adat yang diwarisi oleh nenek moyang kami yang hidup lebih dulu dari pada kami. Nenekku termasuk orang yang rajin mengikuti ritual adat turun temurun seperti ini. Padahal dia sendiri yang mengajarkan kepadaku bahwa kita itu sebagai umat muslim tidak boleh percaya kepada apapun kecuali kepada Allah SWT, dan percaya pada selain Allah itu termasuk kepada perbuatan syirik dan itu merupakan dosa besar.
Hari ini memang hari
dimana aku harus berpamitan dan menyaba ke rumah nenekku untuk memberi kabar bahwa
aku akan berangkat ke pondok minggu ini, sekalian aku juga minta do'anya supaya aku
bisa betah dan kuat untuk bertahan di pondok Al Falaah.
***
“Jadi
kamu berangkat hari minggu san?” Dengan nada tidak
percaya Jefry bertanya serius.
“Yap,
Aku sudah kemas-kemas dan mempersiapkan semuanya, tinggal berangkat!”
Aku menjawab dengan tenang dan dengan senyum yang sedikit dibuat-buat. Walaupun
aku tau, sebenarnya berat untuk berpisah dengan sekelompok teman bermain
dikampung ini, tapi aku harus sabar dan tetap konsisten dengan pendirianku.
Apalagi dengan aku belajar di pondok, sama saja aku telah melanjutkan cita-cita
kedua orangtuaku. Dan Aku sudah membulatkan tekad bahwa niat aku belajar dan
tinggal di pondok ini semata-mata hanya ingin menuntut ilmu dan berbakti kepada
orangtua.
“Terus
bagaimana dengan Lusi? Apa dia juga diterima san?”
Kali ini Jefry bertanya sedikit santai.
“Kemarin
aku dapat kabar dari Ibuku katanya Lusi juga lulus ujian tulis, jadi dia juga
diterima dan akan berangkat hari Minggu ini juga”
Jawabku.
“Wah
enak banget nasibmu ini, bisa belajar dipondok ditambah bisa bareng dengan
Lusi, lamun kitu urang mah ngan bisa ngado’a bae san, semoga kamu bisa betah
dan bisa dimudahkan dalam menuntut ilmu disana, jangan lupa kalau udah jadi
orang sukses jangan sombong ya …” Kali ini Jefry
benar-benar serius berbicara, seakan-akan dia peramal yang tahu bahwa aku akan
pergi jauh dan langsung menjadi orang sukses di perantauan. Tidak pernah aku
mendengar Jefry berkata seserius ini.
“Iya
kawan, kita sama-sama saling mendoakan saja kawan, semoga hidup kita akan
selalu meningkat menjadi lebih baik, aku do’akan juga semoga kau juga bisa
berhasil dan lulus disekolah SMP ini, mari berjuang!”
Tak terasa hatiku bergetar dan badanku gemetar ketika melantunkan kata-kata
itu. Mungkin bahasa hati kami lebih bisa mengerti daripada sekedar kata-kata
yang keluar dari mulut kami.
Sementara Marsan dan
kawan-kawanku yang lainnya hanya bisa mensuportku dari belakang, pesan mereka
tidak jauh beda dengan apa yang dikatakan Jefry kepadaku.
Mungkin ini adalah
tanda perpisahan kami untuk menyongsong masa depan dengan jalur yang berbeda,
banyak kenangan yang aku dan kawan-kawanku ciptakan dikampung ini, dan aku
sangat tidak menyangka sesingkat inilah aku harus mengakhiri masa bermainku
dikampung ini.
***
“San,
jadi apalagi yang masih belum disiapkan? Semua seragam dan pakaian sehari-hari
udah beres disiapkan? Peralatan mandi? Peralatan makan? Semuanya udah beres? …”
Mulut Ibuku tak bisa berhenti diam sebelum semua barang-barang perlengkapan
pondokku sudah lengkap semua. Ibuku memang Ibu yang paling perhatian sejagat
raya. Tidak boleh ada sedikitpun barang yang ketinggalan, Ibuku paling pantang
jika nanti ketika sudah dipondok baru mencari-cari barang yang ketinggalan.
“Iyaa
bu semuanya udah siap, tinggal peralatan cuci sama gantungan baju belum ada bu
…”
Aku menjawab sekenannya.
“Yaudah
nanti diingetin, besok kita beli sekalian ngambil celana bahan kamu yang udah
jadi di tukang jait” Kata Ibuku yang masih asik menggosok-gosokan besi panas berbentuk segitiga ke sekumpulan baju yang baru saja diangkat dari jemuran.
“Buku-buku
gimana? Udah semuanya?” Bapakku yang sedang menonton siaran berita di TV tidak mau kalah
memperhatikan barang bawaanku.
“Bu..ku…?
Udah ko, tinggal buku paket kan nanti dapet dari pondok pak”
Jawabku singkat.
Akhir minggu ini adalah
minggu yang sangat sibuk bagiku, banyak perlengkapan pondok yang harus dibeli
dan disiapkan. Seperti celana bahan panjang, kaos keseharian dengan warna yang
tidak mencolok dan tidak banyak gambar, kemeja putih tangan panjang, sarung,
kopiah, sepatu pantofel, alat tulis, alat mandi sampe ke alat cuci seperti
ember, gayung, sikat cuci dan alat makan. Entah mengapa perasaanku sangat
senang sekali ketika menyiapkan barang-barang itu semua, ada semangat baru yang
muncul didalam hatiku, aku seolah-olah akan mengembara, berpetualang ke belahan
dunia yang sangat asing sekali dalam duniaku, baru aku lah anak pertama yang
dimasukan ke dalam pondok, aku jadi ingat dengan film-film yang sering aku
tonton dipagi hari ketika liburan sekolah tiba, film “Shaolin Popey Messy Temple” yang didalamnya ada Boboho dan kawan-kawan. Mereka dari kecil sudah
berani berlatih kunfu di perguruan kunfu, tentu saja mereka harus bisa hidup
mandiri dan berlatih dengan disiplin yang sangat ketat sesuai dengan peraturan
perguruan tersebut. Dibayanganku aku yang sekarang akan tinggal di pondok tidak
lain dan tidak bukan layaknya pendekar kunfu yang akan berlatih ilmu disuatu
perguruan, hanya saja yang akan aku gali di perguruan ini bukanlah jurus-jurus
kungfu seperti layaknya Boboho pelajari melainkan ilmu-ilmu Agama dan ilmu-ilmu
Pengetahun dan Teknologi. Lebih tepatnya sih ilmu dunia dan ilmu akhirat. Jadi jika
Boboho saja bisa, kenapa aku tidak? Aku pun harus bisa menjalankan misi dari
orangtuaku ini. Aku jadi tidak sabar seperti apakah dunia baru yang akan aku
hadapi didepan?.
Dari kecil aku termasuk
orang yang mandiri, bukan mandi sendiri, tapi terbiasa melakukan apapun dengan
sendiri tanpa perlu bantuan oranglain, dalam artian lain sih aku orangnya nggak
manja. Dari kecil aku sudah bisa masak sendiri, cuci sepatu sendiri dan jaga
rumah sendiri (Entahlah apa aku harus
bangga atau malah sedih dengan kesendirian ini Hehehe). Ketika aku pulang
sekolah dan tidak ada orang di rumah untuk menyiapkan makanan, ya aku tinggal
masak sendiri. Ibuku seorang wirausaha yang sering pulang pergi ngeriditin
barang ke kampung-kampung, jadi terkadang aku di rumah sendiri dan Bapakku juga
kerja dari pagi sampe siang di Puskesmas, jadi aku harus bisa mandiri kalo
dirumah lagi gak ada orang. Itu pesan dari Ibuku, dan Ibukulah yang mengajariku
untuk bisa hidup mandiri dari kecil. Dan tentu saja aku senang menjalaninya.
Aku selalu mengerti dengan posisi kedua Orangtuaku seperti apa, lah toh mereka seperti ini pun itu demi aku dan keluarga.
Jika dirumah kebetulan
tidak ada orang, aku sering memasak dengan resep makanan campur-campur ala Chef
Ahsan Hehehe. Masakan andalanku adalah nasi goreng dengan telor dan mie instan
yang diaduk menjadi satu. Rasanya sungguh sedap. Tentu saja resep ini telah
mengalami revolusi berkali-kali sampe akhirnya aku bisa menikmatinya dengan
caraku sendiri. Awalnya resep ini menjadi adukan nasi asin kebanjiran garam,
kemudian berubah menjadi nasi amis karena telornya tidak sampe masak, dan
seterusnya sampai resep ini menjadi nasi goreng campur-campur yang sempurna.
Dan hebatnya lagi resep ini adalah resep rahasia yang orangtuaku pun tidak
mengetahuinya. Hehehe.
***
Matahari masih bertengger di ufuk timur dan bersinar penuh semangat memancar keseluruh penjuru kampungku, Kampung Kadong-dong. Burung-burung mulai bersiul-siul mengeluarkan suara merdu sambil menari-nari direrimbunan daun pohon mangga yang ada di halaman rumahku. Diluar halaman rumahku terlihat segerombolan anak ayam yang sedang berbaris rapi mengekor kepada induknya untuk memulai mencari rezeki, mungkin mereka sedang berjuang untuk mendapatkan sesuap cacing-cacing tanah. Tidak kalah semangat, aku dengan niat yang
bulat semata-mata ingin menuntut ilmu, aku sudah siap untuk mengembara di negeri
pondok. Sekarang adalah waktunya. Semua peralatan, perlengkapan, dan syarat-syarat yang diperintahkan
pondok sudah aku siapkan, pagi ini aku akan berangkat ke pondok dengan
keluargaku menggunakan mobil carteran. Ibaratkan pengantin akulah pengantinnya
untuk hari ini, semua bekal sudah disiapkan, tidak lupa bungkusan pelastik
berisi tanah dari nenekku sudah aku simpan dalam ransel hitamku. Hatiku dag dig dug tak karuan, harap-harap cemas bertanya-tanya akan seperti
apakah hidup di pondok?.
Di tengah-tengah kerisauanku menjelang berangkat ke pondok, tiba-tiba saja aku ingat akan Lusi. Aku jadi teringat dia, bagaimana dengan kabar dia yah? Apakah dia sudah
benar-benar siap untuk tinggal di pondok dan jauh dari orangtua? Sementara dia
kan cewek, berbeda denganku. Aku masih teringat pesan Ayah Lusi yang
mengamanahiku untuk menjaganya jika nanti kami berdua benar-benar sama-sama di
terima masuk pondok Al-Falaah. Aku sudah siap menjaga dia kapanpun, dan
tentunya dengan keikhlasan dan senang hati. Tapi, bagaimana caranya? Untuk
bicara dengannya saja aku merasa sangat sulit sekali. Mana mau dia menegurku
dan berkata “Hai”. Hei Kenapa tidak aku saja yang mengawalinya? Tapi aku
terlalu malu untuk memulainya, ah sudahlah yang penting aku sudah bersiap jika
memang Lusi butuh bantuanku ketika di pondok nanti, minimal akulah orang yang
paling dekat dan yang dia kenal di pondok itu.
Dengan bermodalkan
sedikit nekad yang so diberani-beraniin, bismillah aku pun berangkat dari rumah. Jujur, sebenarnya
aku sangat ragu untuk bisa beradaptasi dengan lingkungan yang baru. Aku
bukanlah orang yang mudah bersosialisasi, aku sangat jarang menegur terlebih
dahulu jika bertemu orang yang aku kenal, jika berpapasan di jalan aku rasanya
ingin menghindar malu jika nanti malah bertemu dan aku hanya diam saja. Enatahlah
aku sendiri bingung dengan sikapku yang seperti ini. Dalam hatiku sebenarnya
tidak ingin berbuat seperti ini, tapi bawaan dari dalam diriku memang sudah
mendarah daging dan sulit untuk dirubah jadi aku terbiasa seperti ini. Kata
Ibuku itu adalah sifat turunan dari Bapakku yang pemalu dan anti sosial, dan
itu merupakan sifat yang kurang baik, jadi sedikit demi sedikit aku harus
merubahnya, inget! Silaturahim itu bisa memanjangkan umur ujar Ibuku.
"Bapak kamu juga sekarang udah banyak mengalami perubahan, jadi kamu harus bisa merubah juga ..." Kata Ibuku.
"Iya bu, Ahsan pasti akan coba untuk bisa bergaul dan mencari banyak teman dipondok nanti." Jawabku.
***
Halaman pondok Al
Falaah sesak di padati oleh mobil-mobil wali santri baru. Di gerbang depan pondok terlihat petugas juru parkir dibantu 3 orang santri sedang sibuk mengarahkan mobil yang baru datang. Disisi lain jalanan pondok pun sesak digunakan pejalan kaki yang hilir mudik, ada santri baru yang baru membeli ember dan gantungan baju di Pasar Pari samping pondok Al Falaah, ada orangtua dengan anaknya yang membawa 2 buah es krim ditemani isakan kecil si anak, mungkin dia adalah adik si santri baru. Aku juga melihat ada santri baru yang mengerutkan alis cemberut tidak rela orangtuanya harus pulang lebih cepat. Ada juga yang masih berkumpul duduk-duduk santai sambil ngemper tikar dibawah pohon palm ditaman pondok Al Falaah yang asri dan bersih. Sementara aku dan Orangtuaku berjalan ke arah loby utama untuk regristasi daftar ulang dan absen sekaligus mengmbil kunci lemari yang sudah disediakan panitia. Tentu saja kesibukan kami ini ditemani oleh birunya langit Mandalawangi
dan sejuknya udara pegunungan yang hijau, nyaman.
Semua barang bawaanku
sudah dimasukan kedalam asrama, aku akan tinggal di asrama 1 dengan
tempat tidur diranjang bawah. Asrama di pondok Al Falaah mempunyai ranjang
bertingkat atas bawah, padahal aku berharap bisa mendapatkan tempat tidur
diatas, entahlah alasannya apa, cuma ingin saja, terlihat lebih keren kalo tidur di ranjang atas. Tapi tidak apalah, yang penting bisa buat merem kalo tidur Hehe. Lagian kalo tempat tidurnya diatas nanti kalo bangun shubuh
malah bisa-bisa kesiangan gara-gara gak kebangunin. Membela nasib pengguna ranjang bawah.
Setelah merapihkan
barang-barang, aku keluar untuk menemui orangtuaku dan ternyata disana ada Orangtuanya
Lusi, kebetulan mereka juga sedang bersama Orangtuaku. Seperti biasa mataku iseng
mencari-cari dimana Lusi tapi tetap tidak menemukannya, setelah bersalaman
dengan kedua orangtua Lusi tiba-tiba saja Lusi datang dari arah asrama, dia
menggunakan kerudung berwarna krem, dengan baju lengan panjang yang ditangannya
sedikit berendra tipis sangat cocok dengan balutan rok hitam panjang yang
menyelimuti kakinya dengan anggun. Aku sungguh sangat terpesona olehnya, dia
benar-benar sangat cantik. Tapi aku harus bersikap biasa, jangan sampe aku memunculkan ke kagumanku padanya. Malu. Akhirnya aku dan Lusi benar-benar bisa berjuang bersama dipondok ini. Semoga ini bukanlah sekedar mimpi dan angan-angan. Bersambung...
Nantikan kelanjutan ceritanya hanya di: gilaangromadhon.blogspot.com
NB: Bagaimanakah kelanjutan cerita Ahsan di pondok?
Apakah Ahsan akan betah tinggal di pondok? Bagaimanakah malam pertama Ahsan tinggal di pondok? Teman-teman seperti apakah yang akan ditemui Ahsan? Dan Apakah Ahsan benar-benar menjaga Lusi sesuai dengan amanah Ayahnya?
Follow twitter saya disini: @geeromadhon
Link cerita sebelumnya: Ahsan: Journey in Pondok (#1)
Ahsan: Journey in Pondok (#3)
Jangan kemana-mana tetap nantikan kelanjutan
ceritanya yah! :D
No comments:
Post a Comment