Langit tampak biru cerah dengan gempulan awan berjalan pelan beriringan, aroma pantai serta angin
berhembus ringan menerpa mukaku. Daun pohon kelapa yang berjejer rapih di
pinggir pantai pun ikut menari-nari riang mengikuti arah angin berhembus.
Nampak jelas karang-karang menonjolkan diri disana-sini, air laut sedang tidak
pasang. Ini adalah saat yang tepat bagi kami untuk berburu ikan dan kepiting. Aku
berburu kepiting dan ikan bersama kawan-ku Jefry dan Marsan.
Aku ingin bercerita sedikit tentang perkawananku
dikampung. Jefry dan Marsan adalah kawanku di sekolah sekaligus di kampung dan
mereka termasuk kedalam gengku. Geng Cangkek. Nama ini diambil dari nama
kampung kami sebelum berubah menjadi Kampung Kadong-dong. Geng Cangkek terdiri dari anak-anak yang ada di kampung kami,
mereka ada yang tidak sekolah atau berhenti dari sekolah dan ada juga yang
umurnya lebih tua dariku, Jefry dan Marsan adalah kawanku yang seumuran
sekaligus satu sekolah denganku. Tentu mereka berdualah yang paling dekat
denganku. Kegiatan yang biasa kami lakukan sangat beragam, mulai dari main bola
di lapangan hijau, lapangan kebanggaan kampung kami, hampir setiap sore
lapangan ini dikunjungi oleh warga, kemudian kami juga selalu pergi ke Masjid setiap
waktu sholat tiba untuk sholat berjama’ah (kalo lagi pada insaf, biasanya sih
musiman Hehehe), selain itu kami juga sering berpetualang ke hutan alas untuk mencari burung emprit atau mencari buah huni dan jambu batu untuk kami makan bersama,
ada lagi tempat yang paling kami suka yaitu adalah pantai.
Kami adalah sekumpulan anak-anak yang gak mau diem
dan selalu mencari gebrakan demi gebrakan mengadakan kegiatan tersendiri. Kami
selalu membuat gebrakan permainan musiman. Sewaktu-waktu kami pernah bermain
perang-perangan dengan beledogan,
permainan yang dibuat dari bambu besar berisi minyak tanah diujung belakangnya,
menyerupai meriam raksasa, atau kami juga bermain boy-boyan berlari kesana kemari mengecoh kampung, permainan ini
hampir mirip dengan permainan kasti.
Pernah kami mengadakan turnamen bola antar kampung
se-Kecamatan Carita. Alhamdulillah
kegiatan ini sangat didukung oleh warga dikampung kami, dan sangat tidak
disangka juga kami yang mengadakan turnamen ini dan kelompok kami pula yang
memenangkan juara pertamanya.
“Horeeeee….!!!
Cangkek! Cangkek! Cangkek!” Kami berteriak
merayakan kemenangan. Suara gauangan
sorak sorai kemenangan ini masih terngiang jelas dibenakku.
Puas rasanya bisa melakukan hal-hal yang positive
seperti ini.
Selain itu kami mengadakan gebrakan wajib sholat
berjama’ah di Masjid tiap waktu sholat tiba, ya walaupun nggak terus-terusan
dan hanya bertahan beberapa minggu. Pernah suatu hari kami pergi ke Masjid dan
di Masjid tidak ada orang untuk adzan padahal sudah masuk waktu adzan. Sementara
itu teman-temanku yang lain masih dibelakang, aku sengaja berjalan lebih cepat
dari yang lainnya, entah mengapa aku ingin sekali adzan waktu itu. Aku menyerukan adzan perbait dengan baik, namun ketika dipertengahan adzan tenggorakanku
terasa serat dan gatal, sampai akhirnya suaraku tercekak tidak kuat ketika
menyerukan: “Haiya’alasholaa.. a. aah!”
suaraku terpotong-potong. Aku mendengar suara teman-temanku tertawa terkekeh
diluar Masjid. Aku malu pada diriku sendiri yang sempat egois ingin menonjol
dan mendahulukan diri sendiri. Seharusnya aku tidak mendahulukan diri sendiri.
Selain kegiatan yang positive terkadang kami juga
sering buat kericuhan dikampung, kalo lagi seneng-senengnya main bentengan kami sering mengumpat dan
berlari-lari semaunya di rumah-rumah warga, terkadang ada saja emak-emak yang memarahi tingkah dan ulah
kami. “Heh ulin na ulah pada di dieu!
Ditu kalapangan! Bararadung amat budak!” Bi Duoh memaki-maki ulah kami. Tapi
itu semua tidak menyulutkan kami untuk tetap bermain.
Akhir-akhir ini aku jarang kumpul lagi sama Geng Cangkek. Semenjak aku memutuskan
untuk belajar dipondok aku mulai serius belajar dan mengurangi jatah bermain
untuk mempersiapkan masuk pondok. Tentu saja itu semua atas perintah Bapak-ku.
Katanya biar fokus ujian dulu.
***
“Ayolah…!
Kita berlomba siapa yang paling banyak mendapatkan ikan atau kepiting diantara
kita bertiga? Seperti biasa yang kalah harus menyiapkan api setelah ini.
Walaupun sudah pasti aku yang akan menang Hehehe” Ajak
Jefry dengan gaya tengilnya sambil mengikat-ikat tali pancing ke joran yang
sedang dia pegang.
“Jangan
besar kepala dulu, kali ini aku tidak akan kalah!”
Tandasku. Aku periksa kembali perlengkapan senjataku. Aku benarkan topi yang
membungkus kepalaku dengan kedua tanganku. Aku siap.
“Aya
nu neuleu umpan urang teu?. Ada yang liat umpan aku gak?”
Marsan malah masih sibuk mencari-cari umpannya.
Bermain di pantai bagi kami bukanlah hal yang baru.
Kami sering sekali bermain dipantai walau hanya sekedar untuk berenang.
Bagi kami pantai adalah tempat bermain yang paling asyik dibandingkan tempat
lainnya. Karena disini kami bisa melakukan segalanya, berenang, mencari ikan,
bermain bola, mengambil dugan (kelapa
muda), dan masih banyak lagi.
Matahari semakin terik menyengat kulit kami.
Awan-awan masih menggantung tenang menemani birunya langit menonton kami
bertiga.
“Aku
dapat lagi Hooiii! Hahaha” Teriak Jefry, mencoba
memanas-manasi aku. Kali ini entah sudah ikan yang ke berapa.
Aku spontan melihatnya sebentar kemudian langsung
fokus kembali kepancinganku yang sedari tadi tak menemukan tanda-tanda dimakan
ikan, aku malas mengomentari ocehan Jefry.
“Meunang-meunang!
Urang meunang Kapiting Bentang yeuh …” Sorak Marsan dengan
tangkapan kepiting pertamanya.
Seperti biasa, akulah yang harus mengaku kalah lagi
kalo urusan tangkap menangkap ikan. Sebelum aku tertinggal lebih banyak lagi,
aku putuskan untuk mengaku kalah dan bersedia menyiapkan api untuk membakar
ikan hasil tangkapan kami.
***
“Hahaha
seperti biasa kamu gak akan pernah bisa menang dariku san! Nya teu Mar?” Sambil
membolak-balikan ikan diperapian Jefry masih belum puas mengolok-olok aku.
“Jangan
sombong dulu, aku hanya kurang sedikit beruntung saja hari ini. Lain kali kamu
pasti aku kalahkan!” Tanganku masih sibuk mengipas-ngipas
api, aku mencoba membela diri.
Sementara Marsan hanya mengangguk nurut menjawab
pertanyaan Jefry.
“San
kumaha ujian masuk sekolah pondok na? Geus ditarima?. San
gimana dengan ujian masuk pondoknya? Udah diterima?” Marsan mewawancaraiku.
“Nah
itu dia, aku masih gusar menunggu pengumumannya, pengumuman hasil ujiannya baru
akan keluar besok Mar, semoga hasilnya baik” Sambil menghela
nafas aku menjawab pertanyaan Marsan. Aku jadi terpikir, jika aku sekolah
dipondok nanti pasti aku akan merindukan masa-masa ini, kawan bermain ini,
tempat berpetualang ini, aku tidak akan bisa mendapatkannya dipondok. Dan aku
masih belum tahu bagaimana keadaan lingkungan pondok yang sebenarnya. Aku hanya
berharap semoga tidak seburuk yang aku pikirkan.
Kini matahari semakin condong kearah barat.
Awan-awan mulai sedikit menguning terkena terpaan sinarnya. Langit yang semula
biru kini mulai sedikit berubah menjadi kuning oranye. Sementara angin pantai
masih menampakan wujudnya mengibas-ngibas daun pohon kelapa yang ada disamping
kami.
“Hoi…
San aku dengar kamu berangkat ujian kemarin bersama Lusi? Wiih… Enak sekali
kamu bisa bareng dia? Jangan-jangan kamu udah mulai suka nih sama Lusi ya?” Sambil
mencubit ikan hasil tangkapannya yang sudah matang, Jefry kepo.
Mukaku sedikit memerah mendengar pertanyaan yang
dilontarkan oleh Jefry, memang benar sejak kejadian kemarin aku berangkat ujian
tulis pondok bersama Lusi, aku jadi sering terpikirkan dia. Apa lagi dengan
amanat Ayahnya yang berkata bahwa aku adalah seorang laki-laki, dan laki-laki
seharusnya bisa menjaga perempuan. Perkataan itu masih terngiang-ngiang
ditelingaku. Disamping itu semua aku masih galau dengan hasil ujianku yang
masih belum jelas, apakah aku diterima atau tidak! Jika aku diterima aku sudah
niatkan dalam hati aku akan berusaha menjaga Lusi, dengan senang hati aku pasti
akan lakukan itu.
“Hoii
San.. Malah bengong, jawablah pertanyaanku tadi …”
Tangan Jefry melambai-lambai didepan mukaku.
“Eh..
eem.. Nggak.. nggak, aku gak suka sama Lusi, biasa aja tuh, kemarin hanya
kebetulan saja dia juga daftar kepondok yang sama denganku jadi kami berangkat
bareng” Aku menjawab dengan spontan dan menutup diri.
“Hahaha…
Jangan berbohong lah, muka memerahmu itu tak bisa kamu sembunyikan dari kami,
ya gak Mar? Kalo emang suka, kamu kejarlah Lusi sampai dapet, nanti kalo udah
diambil orang, kamu baru tau rasa.” Ledek Jefry sekenannya.
Dia memang paling bisa membuat aku tersudut dan tak berkutik. Walaupun demikian
apa yang dimaksudkan dia sebenarnya perhatian terhadap kawan seperjuangannya.
“Bener
tuh San!” Sambil mencari-cari ikan yang masih tersisa
diperapian Marsan membenarkan perkataan Jefry.
“Sudah-sudah
kalian ini pada ngomong apa sih!” Aku masih tetap menutup
diri.
Mungkin ini adalah sore menyenangkan yang tak akan
terlupakan dan tak akan bisa aku rasakan kembali setelah aku masuk pondok.
***
Setelah sholat isya dan berdo’a untuk pengumuman
hari esok, aku memilih untuk mengurung diri dikamar, aku harus menyiapkan
mental untuk menghadapi dua kemungkinan yang sama-sama menegangkan. Jika aku
lulus aku harus menyiapkan mental kesiapanku berpisah dari rumah dan hidup
dipondok menggali ilmu, jika aku tidak lulus aku harus rela untuk sekolah di
SMP biasa yang ada didaerahku.
Selain resah menunggu hasil ujian pondok, aku pun
resah memikirkan bagaimana jika nanti aku tidak diterima di pondok? Apa yang harus
aku lakukan? Apakah aku harus sekolah SMP biasa yang ada di daerahku? Mungkin
waktu dulu pikiranku masih cetek dan hanya tau sekolah SMP itu cuma ada di
Labuan saja yang paling bagus, yaitu SMP 1 Labuan. Tapi sekarang pikiranku
sudah berubah, aku jadi lebih mengenal banyak orang dan mengenal luas ilmu dan
tekad yang disalurkan oleh kedua Orangtuaku, setelah mengenalkan aku ke Pondok
Al-Falaah.
Jika aku lulus ujian dan berhasil diterima di
Pondok, pasti aku akan mendapatkan banyak teman yang tidak hanya berasal dari
daerahku saja. Tapi juga dari berbagai daerah lainnya. Dan jika aku berhasil
sekolah di pondok, aku bukan hanya belajar ilmu umum saja, tapi aku juga bisa belajar
ilmu agama dengan benar dan bisa mempraktekannya dengan baik di pondok. Aku juga
bisa belajar bahasa inggris dan arab yang langsung dipraktekan dalam kegiatan
sehari-hari, walaupun aku sedikit merasa takut akan hal itu. Tapi aku sudah
mulai punya keinginan untuk tinggal dan belajar dipondok.
Entah mengapa? Aku sering takut untuk mencoba hal
baru, untuk merubah kebiasaan yang baru dan untuk beradaptasi kelingkungan yang
baru. Pikiranku selalu berkata bagaimana jika nanti kamu gagal? Bagaimana nanti
jika kamu tidak punya teman? Bagaimana nanti jika kamu tidak betah? Dan
kemungkinan-kemungkinan negative
lainnya saling menyerbu satu per satu kedalam pikiranku. Aku tau bahwa sikapku
yang seperti itu adalah salah. Sebagai Muslim yang baik aku harus optimis dan
percaya, bahwa Tuhan itu Maha Adil, Tuhan itu Maha Tau, dan Tuhan itu Maha
Penyayang. Jadi jangan pernah takut dengan masa depan dan segala kemungkinan
yang akan terjadi selagi kita masih mempunyai Tuhan. Begitu kata Ibuku.
Disamping itu aku juga jadi rajin sholat dan berdoa
kepada Allah untuk ditunjukan jalan yang terbaik. “Ya Allah, jika saya pantas untuk masuk pondok maka mudahkanlah, dan
jika memang saya belum pantas untuk masuk pondok maka tunjukanlah jalan yang
terbaik bagiku” Begitu kira-kira doa yang aku panjatkan setiap sesudah
sholat.
***
Aku sudah tidak sabar menunggu pengumuman besok.
Sementara Bapakku masih tetap menyuruhku untuk belajar, persiapan untuk ikut
ujian masuk SMP terdekat yang ada di daerahku. Itu adalah jalan satu-satunya
jika memang aku tidak diterima oleh pondok.
Kebanyakan teman-teman sekolahku mereka mendaftar ke
sekolah umum SMP atau Tsanawiyah.
Bahkan ada juga yang memutuskan untuk berhenti sekolah dan langsung bekerja
membantu orangtuanya mencari ikan ke laut, atau bagi temanku yang perempuan
memilih untuk dagang di pantai. SDM yang ada di daerahku memang masih sangat
minim. Kebanyakan orangtua lebih mementingkan anaknya langsung bekerja dari
pada melanjutkan sekolah yang tinggi. “Ngapain
sekolah tinggi-tinggi ngabisin duit banyak, mendingan langsung kerja aja ke
laut sana mayang, bisa ngehasilin duit” Kata Mak Mursinah ibu dari Zaenal
temanku. Pikiran yang seperti ini masih menghiasi benak kebanyakan orangtua
dikampungku. Dari pada rugi ngeluarin duit buat sekolah, mendingan memanfaatkan
anaknya untuk bekerja, bisa menghasilkan duit dan membantu pendapatan orangtua.
Pola pikir seperti ini harus dirubah. Begitu ujar Ibu dan Bapakku ketika sedang
ngobrol santai selepas makan malam.
Alhamdulillah
aku bersyukur sekali bisa berada di keluarga yang berkecukupan dan mementingkan
pendidikan. Bapakku merupakan Bapak yang paling serius jika sedang berdiskusi
tentang pendidikan, beliau selalu mengajarkan kepada anak-anaknya untuk selalu
berdisiplin belajar setiap malam, walaupun hanya sekedar membaca-baca mengulang
pelajaran yang telah dipelajari disekolah. “San,
baca setiap hari minimal 3 halaman. Itu wajib kamu lakuin kalo mau pintar”
Kata Bapak. Tentu saja aku malas jika diwajibkan untuk setiap hari membaca.
Terkadang mood belajar itu terkikis
sedikit demi sedikit kalo udah keseringan dipake. Tapi satu hal yang gak bisa
aku elak yaitu taat kepada Orangtua. Kalo aku gak belajar sama aja aku udah
ngebantah perintah orangtua, dan itu hukumnya dosa. Maka dari itu aku berusaha
untuk terus membaca walaupun bosan dan terpaksa.
***
Hari ini adalah hari penentuanku, apakah aku
berhasil mengalahkan soal-soal kemarin atau malah aku yang kalah dari mereka.
Hasil pengumuman ujian pondok bisa dilihat di papan pengumuman Mesjid Agung
Labuan, Koran Radar Banten terbitan hari ini, dan bisa juga langsung bertanya
ke pihak pondok melalui telepon.
Aku sudah tidak sabar menunggu Bapak pulang dari
kerja, kami berniat untuk melihat hasil ujian pondok di papan pengumuman Mesjid
Agung Labuan. Tidak lama akhirnya Bapakku pulang juga, selepas sholat dzuhur
kami pun berangkat ke Labuan dengan menggunakan motor bebek kesayangan Bapakku.
Disepanjang jalan pikiranku terbang melayang tidak karuan, antara harap-harap
cemas. Yang bisa aku lakukan sekarang hanya berdo’a, berdo’a dan berdo’a. Aku
sudah siap dan ikhlas dengan segala kemungkinan yang Allah berikan.
Setibanya di Mesjid Agung Labuan, aku dan Bapakku
langsung mencari-cari papan pengumuman dan melihat dengan tidak sabar, apakah
namaku tercetak didalam pengumuman itu atau tidak. Satu papan pengumuman aku
lalui, disana sama sekali tidak terlihat ada sebuah pengumuman, mungkin dipapan
yang ada diseberang sana pikirku, aku dan Bapakku dengan kompaknya langsung
menuju satu papan yang sama tanpa harus ada komando dari siapapun. Aku melihat
ada kertas berjejer rapih dengan deretan huruf yang diketik rapih, tapi
sederetan huruf ini sama sekali tidak mengisyaratkan hasil pengumuman pondok
Al-Falaah. Ini adalah pengumuman jadwal pengajian mingguan di Mesjid Agung
Labuan. Pengumuman yang kami harapkan ternyata belum ada di Mesjid ini.
“Kayanya
pengumumannya telat ditempel san …” Ucap Bapakku mencoba
menerangkan sesuatu yang sudah terang.
“Iyah
pak, jadi bagaimana ini?” Aku menjawab sekaligus bertanya
kepada Bapakku.
“Ah..
Ayo kita cari Koran Radar Banten saja, siapa tau masih tersisa dipasar.”
Bagaikan menemukan sebuah ide cemerlang Bapakku langsung bersiap mengajakku
pergi ke pasar untuk mencari Koran.
Aku mengangguk dan mengekor dari belakang mengikuti
Bapakku.
Sudah dua kali putaran kami mencari-cari Koran Radar
Banten terbitan hari ini, namun hasilnya masih tetap nihil. Hampir setiap
tempat Koran sudah menjual habis korannya, ditambah di Labuan masih sangat
jarang tempat Koran yang masih buka sampai siang atau sore hari. Terpaksa kami
pun harus menyerah dan memutuskan untuk pulang ke rumah.
Setibanya dirumah pikiranku masih belum tenang
sebelum aku mengetahui kejelasan hasil pengumuman pondok ini. Aku jadi teringat
satu hal, masih ada satu cara untuk mengetahui pengumuman hasil ujian pondok,
yaitu dengan cara menelpon langsung ke pondok Al-Falaah. Spontan aku langsung
mengajak Bapak dan Ibuku untuk langsung menelpon pondok untuk menanyakan hasil
ujianku.
Ibuku: Mijit nomer telepon dengan perlahan sambil
sesekali mencontek ke brosur pondok yang aku pegang.
Pondok: … (masih belum diangkat)
Ibuku: Masih mendengarkan nada tanda sambungan
telepon. “Tuut… tuut… tuut…”.
Aku dan Bapakku menunggu sambil menguping dengan
harapan bisa ikut mendengar pembicaraan Ibuku.
Pondok: "Assalamu’alaikum, dengan Pondok Al-Falaah ada
yang bisa saya bantu?"
Ibuku: "Wa’alaikumsalam, iyah ini saya mau bertanya
tentang pengumuman yang lulus ujian masuk pondok, dengan nama Ahsan Ramadhan
apakah lulus ujian?"
Pondok: "Ohh.. tunggu sebentar ya bu, saya periksa dulu."
Ibuku: "Iyah pak." Ibu memberikan isyarat kalo yang
ditanya sedang mencari namaku.
Pondok: … (Masih mencari-cari namaku)
Ibuku: "Halo, Gimana pak? Apakah atas nama Ahsan Ramadhan lulus ujian pak?"
Pondok: … (Masih mencari-cari namaku)
Ibuku: …
Aku dan Bapakku saling bertatap muka malah nambah bingung.
Pondok: "Ibu Alhamdulillah anak Ibu atas nama Ahsan
Ramadhan lulus ujian pondok. Anak ibu bisa langsung masuk dan sekaligus daftar
ulang minggu depan."
Ibuku: "Alhamdulillah, terima kasih pak atas infonya."
Pondok: "Ya sama-sama bu."
“Alhamdulillah san kamu lulus ujian masuk pondok,
nanti kita daftar ulang sekaligus masuk minggu depan.” Sambil menciumiku, ibuku
begitu terharu mendengar kabar baik ini.
Sementara Bapakku tidak banyak komentar apapun,
beliau hanya mengembangkan senyuman bangga sambil mengusap-usap kepalaku.
Ada perasaan senang karena aku berhasil lulus ujian
dan mengalahkan rangkaian soal-soal ujian pondok, disamping itu ada perasaan
sedih karena aku harus berpisah dengan keluargaku dan teman-temanku. Rasanya
sungguh campur aduk sekali, ada satu lagi pikiran yang diam-diam menyelinap
dalam otakku. Lusi, ya apakah dia juga lulus ujian pondok ini? Aku sangat
berharap dia bisa lulus juga, semoga. Bersambung...
NB: Bagaimanakah kelanjutan cerita Ahsan di pondok?
Apakah Ahsan akan bertemu dengan teman-teman yang sama dengan dikampungnya?
Atau malah akan bertemu dengan teman-teman yang nakal? Bagaimana dengan kabar
percintaan Ahsan dengan Lusi? Apakah Lusi juga berhasil lulus ujian pondok?
twitter: @geeromadhon
Link cerita sebelumnya: Ahsan: Journey in Pondok (#1)
Jangan kemana-mana tetap nantikan kelanjutan
ceritanya yah! :D
ada aroma negeri 5 menara ni kayaknya :)
ReplyDeleteHahaha Negeri 5 Menara emang jadi pedoman saya menulis cerita ini, jadi kebawa deh :D
DeleteTpi jalan ceritanya tetep murni dari saya ko hehe
Makasih udah mampir dan baca :)