Sunday, March 30, 2014

Ahsan: Journey in Pondok! (Pengumuman Penting) #3


Ahsan: Journey in Pondok! (Pengumuman Penting)
 
Langit tampak biru cerah dengan gempulan awan berjalan pelan beriringan, aroma pantai serta angin berhembus ringan menerpa mukaku. Daun pohon kelapa yang berjejer rapih di pinggir pantai pun ikut menari-nari riang mengikuti arah angin berhembus. Nampak jelas karang-karang menonjolkan diri disana-sini, air laut sedang tidak pasang. Ini adalah saat yang tepat bagi kami untuk berburu ikan dan kepiting. Aku berburu kepiting dan ikan bersama kawan-ku Jefry dan Marsan.

Aku ingin bercerita sedikit tentang perkawananku dikampung. Jefry dan Marsan adalah kawanku di sekolah sekaligus di kampung dan mereka termasuk kedalam gengku. Geng Cangkek. Nama ini diambil dari nama kampung kami sebelum berubah menjadi Kampung Kadong-dong. Geng Cangkek terdiri dari anak-anak yang ada di kampung kami, mereka ada yang tidak sekolah atau berhenti dari sekolah dan ada juga yang umurnya lebih tua dariku, Jefry dan Marsan adalah kawanku yang seumuran sekaligus satu sekolah denganku. Tentu mereka berdualah yang paling dekat denganku. Kegiatan yang biasa kami lakukan sangat beragam, mulai dari main bola di lapangan hijau, lapangan kebanggaan kampung kami, hampir setiap sore lapangan ini dikunjungi oleh warga, kemudian kami juga selalu pergi ke Masjid setiap waktu sholat tiba untuk sholat berjama’ah (kalo lagi pada insaf, biasanya sih musiman Hehehe), selain itu kami juga sering berpetualang ke hutan alas untuk mencari burung emprit atau mencari buah huni dan jambu batu untuk kami makan bersama, ada lagi tempat yang paling kami suka yaitu adalah pantai.


Kami adalah sekumpulan anak-anak yang gak mau diem dan selalu mencari gebrakan demi gebrakan mengadakan kegiatan tersendiri. Kami selalu membuat gebrakan permainan musiman. Sewaktu-waktu kami pernah bermain perang-perangan dengan beledogan, permainan yang dibuat dari bambu besar berisi minyak tanah diujung belakangnya, menyerupai meriam raksasa, atau kami juga bermain boy-boyan berlari kesana kemari mengecoh kampung, permainan ini hampir mirip dengan permainan kasti. 

Pernah kami mengadakan turnamen bola antar kampung se-Kecamatan Carita. Alhamdulillah kegiatan ini sangat didukung oleh warga dikampung kami, dan sangat tidak disangka juga kami yang mengadakan turnamen ini dan kelompok kami pula yang memenangkan juara pertamanya.

“Horeeeee….!!! Cangkek! Cangkek! Cangkek!” Kami berteriak merayakan kemenangan. Suara gauangan sorak sorai kemenangan ini masih terngiang jelas dibenakku.

Puas rasanya bisa melakukan hal-hal yang positive seperti ini. 

Selain itu kami mengadakan gebrakan wajib sholat berjama’ah di Masjid tiap waktu sholat tiba, ya walaupun nggak terus-terusan dan hanya bertahan beberapa minggu. Pernah suatu hari kami pergi ke Masjid dan di Masjid tidak ada orang untuk adzan padahal sudah masuk waktu adzan. Sementara itu teman-temanku yang lain masih dibelakang, aku sengaja berjalan lebih cepat dari yang lainnya, entah mengapa aku ingin sekali adzan waktu itu. Aku menyerukan adzan perbait dengan baik, namun ketika dipertengahan adzan tenggorakanku terasa serat dan gatal, sampai akhirnya suaraku tercekak tidak kuat ketika menyerukan: “Haiya’alasholaa.. a. aah!” suaraku terpotong-potong. Aku mendengar suara teman-temanku tertawa terkekeh diluar Masjid. Aku malu pada diriku sendiri yang sempat egois ingin menonjol dan mendahulukan diri sendiri. Seharusnya aku tidak mendahulukan diri sendiri.

Selain kegiatan yang positive terkadang kami juga sering buat kericuhan dikampung, kalo lagi seneng-senengnya main bentengan kami sering mengumpat dan berlari-lari semaunya di rumah-rumah warga, terkadang ada saja emak-emak yang memarahi tingkah dan ulah kami. “Heh ulin na ulah pada di dieu! Ditu kalapangan! Bararadung amat budak!” Bi Duoh memaki-maki ulah kami. Tapi itu semua tidak menyulutkan kami untuk tetap bermain.

Akhir-akhir ini aku jarang kumpul lagi sama Geng Cangkek. Semenjak aku memutuskan untuk belajar dipondok aku mulai serius belajar dan mengurangi jatah bermain untuk mempersiapkan masuk pondok. Tentu saja itu semua atas perintah Bapak-ku. Katanya biar fokus ujian dulu.

***

“Ayolah…! Kita berlomba siapa yang paling banyak mendapatkan ikan atau kepiting diantara kita bertiga? Seperti biasa yang kalah harus menyiapkan api setelah ini. Walaupun sudah pasti aku yang akan menang Hehehe” Ajak Jefry dengan gaya tengilnya sambil mengikat-ikat tali pancing ke joran yang sedang dia pegang.

“Jangan besar kepala dulu, kali ini aku tidak akan kalah!” Tandasku. Aku periksa kembali perlengkapan senjataku. Aku benarkan topi yang membungkus kepalaku dengan kedua tanganku. Aku siap.

“Aya nu neuleu umpan urang teu?. Ada yang liat umpan aku gak?” Marsan malah masih sibuk mencari-cari umpannya. 

Bermain di pantai bagi kami bukanlah hal yang baru. Kami sering sekali bermain dipantai walau hanya sekedar untuk berenang. Bagi kami pantai adalah tempat bermain yang paling asyik dibandingkan tempat lainnya. Karena disini kami bisa melakukan segalanya, berenang, mencari ikan, bermain bola, mengambil dugan (kelapa muda), dan masih banyak lagi.

Matahari semakin terik menyengat kulit kami. Awan-awan masih menggantung tenang menemani birunya langit menonton kami bertiga.

“Aku dapat lagi Hooiii! Hahaha” Teriak Jefry, mencoba memanas-manasi aku. Kali ini entah sudah ikan yang ke berapa.

Aku spontan melihatnya sebentar kemudian langsung fokus kembali kepancinganku yang sedari tadi tak menemukan tanda-tanda dimakan ikan, aku malas mengomentari ocehan Jefry.

“Meunang-meunang! Urang meunang Kapiting Bentang yeuh …” Sorak Marsan dengan tangkapan kepiting pertamanya.

Seperti biasa, akulah yang harus mengaku kalah lagi kalo urusan tangkap menangkap ikan. Sebelum aku tertinggal lebih banyak lagi, aku putuskan untuk mengaku kalah dan bersedia menyiapkan api untuk membakar ikan hasil tangkapan kami.

***

“Hahaha seperti biasa kamu gak akan pernah bisa menang dariku san! Nya teu Mar?” Sambil membolak-balikan ikan diperapian Jefry masih belum puas mengolok-olok aku.

“Jangan sombong dulu, aku hanya kurang sedikit beruntung saja hari ini. Lain kali kamu pasti aku kalahkan!” Tanganku masih sibuk mengipas-ngipas api, aku mencoba membela diri.

Sementara Marsan hanya mengangguk nurut menjawab pertanyaan Jefry.

“San kumaha ujian masuk sekolah pondok na? Geus ditarima?. San gimana dengan ujian masuk pondoknya? Udah diterima?Marsan mewawancaraiku.

“Nah itu dia, aku masih gusar menunggu pengumumannya, pengumuman hasil ujiannya baru akan keluar besok Mar, semoga hasilnya baik” Sambil menghela nafas aku menjawab pertanyaan Marsan. Aku jadi terpikir, jika aku sekolah dipondok nanti pasti aku akan merindukan masa-masa ini, kawan bermain ini, tempat berpetualang ini, aku tidak akan bisa mendapatkannya dipondok. Dan aku masih belum tahu bagaimana keadaan lingkungan pondok yang sebenarnya. Aku hanya berharap semoga tidak seburuk yang aku pikirkan.

Kini matahari semakin condong kearah barat. Awan-awan mulai sedikit menguning terkena terpaan sinarnya. Langit yang semula biru kini mulai sedikit berubah menjadi kuning oranye. Sementara angin pantai masih menampakan wujudnya mengibas-ngibas daun pohon kelapa yang ada disamping kami.

“Hoi… San aku dengar kamu berangkat ujian kemarin bersama Lusi? Wiih… Enak sekali kamu bisa bareng dia? Jangan-jangan kamu udah mulai suka nih sama Lusi ya?” Sambil mencubit ikan hasil tangkapannya yang sudah matang, Jefry kepo.

Mukaku sedikit memerah mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh Jefry, memang benar sejak kejadian kemarin aku berangkat ujian tulis pondok bersama Lusi, aku jadi sering terpikirkan dia. Apa lagi dengan amanat Ayahnya yang berkata bahwa aku adalah seorang laki-laki, dan laki-laki seharusnya bisa menjaga perempuan. Perkataan itu masih terngiang-ngiang ditelingaku. Disamping itu semua aku masih galau dengan hasil ujianku yang masih belum jelas, apakah aku diterima atau tidak! Jika aku diterima aku sudah niatkan dalam hati aku akan berusaha menjaga Lusi, dengan senang hati aku pasti akan lakukan itu.

“Hoii San.. Malah bengong, jawablah pertanyaanku tadi …” Tangan Jefry melambai-lambai didepan mukaku.

“Eh.. eem.. Nggak.. nggak, aku gak suka sama Lusi, biasa aja tuh, kemarin hanya kebetulan saja dia juga daftar kepondok yang sama denganku jadi kami berangkat bareng” Aku menjawab dengan spontan dan menutup diri.

“Hahaha… Jangan berbohong lah, muka memerahmu itu tak bisa kamu sembunyikan dari kami, ya gak Mar? Kalo emang suka, kamu kejarlah Lusi sampai dapet, nanti kalo udah diambil orang, kamu baru tau rasa.” Ledek Jefry sekenannya. Dia memang paling bisa membuat aku tersudut dan tak berkutik. Walaupun demikian apa yang dimaksudkan dia sebenarnya perhatian terhadap kawan seperjuangannya.

“Bener tuh San!” Sambil mencari-cari ikan yang masih tersisa diperapian Marsan membenarkan perkataan Jefry.

“Sudah-sudah kalian ini pada ngomong apa sih!” Aku masih tetap menutup diri.

Mungkin ini adalah sore menyenangkan yang tak akan terlupakan dan tak akan bisa aku rasakan kembali setelah aku masuk pondok.

***

Setelah sholat isya dan berdo’a untuk pengumuman hari esok, aku memilih untuk mengurung diri dikamar, aku harus menyiapkan mental untuk menghadapi dua kemungkinan yang sama-sama menegangkan. Jika aku lulus aku harus menyiapkan mental kesiapanku berpisah dari rumah dan hidup dipondok menggali ilmu, jika aku tidak lulus aku harus rela untuk sekolah di SMP biasa yang ada didaerahku.

Selain resah menunggu hasil ujian pondok, aku pun resah memikirkan bagaimana jika nanti aku tidak diterima di pondok? Apa yang harus aku lakukan? Apakah aku harus sekolah SMP biasa yang ada di daerahku? Mungkin waktu dulu pikiranku masih cetek dan hanya tau sekolah SMP itu cuma ada di Labuan saja yang paling bagus, yaitu SMP 1 Labuan. Tapi sekarang pikiranku sudah berubah, aku jadi lebih mengenal banyak orang dan mengenal luas ilmu dan tekad yang disalurkan oleh kedua Orangtuaku, setelah mengenalkan aku ke Pondok Al-Falaah.

Jika aku lulus ujian dan berhasil diterima di Pondok, pasti aku akan mendapatkan banyak teman yang tidak hanya berasal dari daerahku saja. Tapi juga dari berbagai daerah lainnya. Dan jika aku berhasil sekolah di pondok, aku bukan hanya belajar ilmu umum saja, tapi aku juga bisa belajar ilmu agama dengan benar dan bisa mempraktekannya dengan baik di pondok. Aku juga bisa belajar bahasa inggris dan arab yang langsung dipraktekan dalam kegiatan sehari-hari, walaupun aku sedikit merasa takut akan hal itu. Tapi aku sudah mulai punya keinginan untuk tinggal dan belajar dipondok. 

Entah mengapa? Aku sering takut untuk mencoba hal baru, untuk merubah kebiasaan yang baru dan untuk beradaptasi kelingkungan yang baru. Pikiranku selalu berkata bagaimana jika nanti kamu gagal? Bagaimana nanti jika kamu tidak punya teman? Bagaimana nanti jika kamu tidak betah? Dan kemungkinan-kemungkinan negative lainnya saling menyerbu satu per satu kedalam pikiranku. Aku tau bahwa sikapku yang seperti itu adalah salah. Sebagai Muslim yang baik aku harus optimis dan percaya, bahwa Tuhan itu Maha Adil, Tuhan itu Maha Tau, dan Tuhan itu Maha Penyayang. Jadi jangan pernah takut dengan masa depan dan segala kemungkinan yang akan terjadi selagi kita masih mempunyai Tuhan. Begitu kata Ibuku.

Disamping itu aku juga jadi rajin sholat dan berdoa kepada Allah untuk ditunjukan jalan yang terbaik. “Ya Allah, jika saya pantas untuk masuk pondok maka mudahkanlah, dan jika memang saya belum pantas untuk masuk pondok maka tunjukanlah jalan yang terbaik bagiku” Begitu kira-kira doa yang aku panjatkan setiap sesudah sholat.

***

Aku sudah tidak sabar menunggu pengumuman besok. Sementara Bapakku masih tetap menyuruhku untuk belajar, persiapan untuk ikut ujian masuk SMP terdekat yang ada di daerahku. Itu adalah jalan satu-satunya jika memang aku tidak diterima oleh pondok.

Kebanyakan teman-teman sekolahku mereka mendaftar ke sekolah umum SMP atau Tsanawiyah. Bahkan ada juga yang memutuskan untuk berhenti sekolah dan langsung bekerja membantu orangtuanya mencari ikan ke laut, atau bagi temanku yang perempuan memilih untuk dagang di pantai. SDM yang ada di daerahku memang masih sangat minim. Kebanyakan orangtua lebih mementingkan anaknya langsung bekerja dari pada melanjutkan sekolah yang tinggi. “Ngapain sekolah tinggi-tinggi ngabisin duit banyak, mendingan langsung kerja aja ke laut sana mayang, bisa ngehasilin duit” Kata Mak Mursinah ibu dari Zaenal temanku. Pikiran yang seperti ini masih menghiasi benak kebanyakan orangtua dikampungku. Dari pada rugi ngeluarin duit buat sekolah, mendingan memanfaatkan anaknya untuk bekerja, bisa menghasilkan duit dan membantu pendapatan orangtua. Pola pikir seperti ini harus dirubah. Begitu ujar Ibu dan Bapakku ketika sedang ngobrol santai selepas makan malam.

Alhamdulillah aku bersyukur sekali bisa berada di keluarga yang berkecukupan dan mementingkan pendidikan. Bapakku merupakan Bapak yang paling serius jika sedang berdiskusi tentang pendidikan, beliau selalu mengajarkan kepada anak-anaknya untuk selalu berdisiplin belajar setiap malam, walaupun hanya sekedar membaca-baca mengulang pelajaran yang telah dipelajari disekolah. “San, baca setiap hari minimal 3 halaman. Itu wajib kamu lakuin kalo mau pintar” Kata Bapak. Tentu saja aku malas jika diwajibkan untuk setiap hari membaca. Terkadang mood belajar itu terkikis sedikit demi sedikit kalo udah keseringan dipake. Tapi satu hal yang gak bisa aku elak yaitu taat kepada Orangtua. Kalo aku gak belajar sama aja aku udah ngebantah perintah orangtua, dan itu hukumnya dosa. Maka dari itu aku berusaha untuk terus membaca walaupun bosan dan terpaksa.

***

Hari ini adalah hari penentuanku, apakah aku berhasil mengalahkan soal-soal kemarin atau malah aku yang kalah dari mereka. Hasil pengumuman ujian pondok bisa dilihat di papan pengumuman Mesjid Agung Labuan, Koran Radar Banten terbitan hari ini, dan bisa juga langsung bertanya ke pihak pondok melalui telepon.

Aku sudah tidak sabar menunggu Bapak pulang dari kerja, kami berniat untuk melihat hasil ujian pondok di papan pengumuman Mesjid Agung Labuan. Tidak lama akhirnya Bapakku pulang juga, selepas sholat dzuhur kami pun berangkat ke Labuan dengan menggunakan motor bebek kesayangan Bapakku. Disepanjang jalan pikiranku terbang melayang tidak karuan, antara harap-harap cemas. Yang bisa aku lakukan sekarang hanya berdo’a, berdo’a dan berdo’a. Aku sudah siap dan ikhlas dengan segala kemungkinan yang Allah berikan.

Setibanya di Mesjid Agung Labuan, aku dan Bapakku langsung mencari-cari papan pengumuman dan melihat dengan tidak sabar, apakah namaku tercetak didalam pengumuman itu atau tidak. Satu papan pengumuman aku lalui, disana sama sekali tidak terlihat ada sebuah pengumuman, mungkin dipapan yang ada diseberang sana pikirku, aku dan Bapakku dengan kompaknya langsung menuju satu papan yang sama tanpa harus ada komando dari siapapun. Aku melihat ada kertas berjejer rapih dengan deretan huruf yang diketik rapih, tapi sederetan huruf ini sama sekali tidak mengisyaratkan hasil pengumuman pondok Al-Falaah. Ini adalah pengumuman jadwal pengajian mingguan di Mesjid Agung Labuan. Pengumuman yang kami harapkan ternyata belum ada di Mesjid ini.

“Kayanya pengumumannya telat ditempel san …” Ucap Bapakku mencoba menerangkan sesuatu yang sudah terang.

“Iyah pak, jadi bagaimana ini?” Aku menjawab sekaligus bertanya kepada Bapakku.

“Ah.. Ayo kita cari Koran Radar Banten saja, siapa tau masih tersisa dipasar.” Bagaikan menemukan sebuah ide cemerlang Bapakku langsung bersiap mengajakku pergi ke pasar untuk mencari Koran.

Aku mengangguk dan mengekor dari belakang mengikuti Bapakku.

Sudah dua kali putaran kami mencari-cari Koran Radar Banten terbitan hari ini, namun hasilnya masih tetap nihil. Hampir setiap tempat Koran sudah menjual habis korannya, ditambah di Labuan masih sangat jarang tempat Koran yang masih buka sampai siang atau sore hari. Terpaksa kami pun harus menyerah dan memutuskan untuk pulang ke rumah.

Setibanya dirumah pikiranku masih belum tenang sebelum aku mengetahui kejelasan hasil pengumuman pondok ini. Aku jadi teringat satu hal, masih ada satu cara untuk mengetahui pengumuman hasil ujian pondok, yaitu dengan cara menelpon langsung ke pondok Al-Falaah. Spontan aku langsung mengajak Bapak dan Ibuku untuk langsung menelpon pondok untuk menanyakan hasil ujianku.

Ibuku: Mijit nomer telepon dengan perlahan sambil sesekali mencontek ke brosur pondok yang aku pegang.
Pondok: … (masih belum diangkat)
Ibuku: Masih mendengarkan nada tanda sambungan telepon. “Tuut… tuut… tuut…”.
Aku dan Bapakku menunggu sambil menguping dengan harapan bisa ikut mendengar pembicaraan Ibuku.
Pondok: "Assalamu’alaikum, dengan Pondok Al-Falaah ada yang bisa saya bantu?"

Ibuku: "Wa’alaikumsalam, iyah ini saya mau bertanya tentang pengumuman yang lulus ujian masuk pondok, dengan nama Ahsan Ramadhan apakah lulus ujian?"
Pondok: "Ohh.. tunggu sebentar ya bu, saya periksa dulu."
Ibuku: "Iyah pak." Ibu memberikan isyarat kalo yang ditanya sedang mencari namaku.
Pondok: … (Masih mencari-cari namaku)
Ibuku: "Halo, Gimana pak? Apakah atas nama Ahsan Ramadhan lulus ujian pak?"
Pondok: … (Masih mencari-cari namaku)
Ibuku: …
Aku dan Bapakku saling bertatap muka malah nambah bingung.
Pondok: "Ibu Alhamdulillah anak Ibu atas nama Ahsan Ramadhan lulus ujian pondok. Anak ibu bisa langsung masuk dan sekaligus daftar ulang minggu depan."
Ibuku: "Alhamdulillah, terima kasih pak atas infonya."

Pondok: "Ya sama-sama bu."

“Alhamdulillah san kamu lulus ujian masuk pondok, nanti kita daftar ulang sekaligus masuk minggu depan.” Sambil menciumiku, ibuku begitu terharu mendengar kabar baik ini.

Sementara Bapakku tidak banyak komentar apapun, beliau hanya mengembangkan senyuman bangga sambil mengusap-usap kepalaku.

Ada perasaan senang karena aku berhasil lulus ujian dan mengalahkan rangkaian soal-soal ujian pondok, disamping itu ada perasaan sedih karena aku harus berpisah dengan keluargaku dan teman-temanku. Rasanya sungguh campur aduk sekali, ada satu lagi pikiran yang diam-diam menyelinap dalam otakku. Lusi, ya apakah dia juga lulus ujian pondok ini? Aku sangat berharap dia bisa lulus juga, semoga. Bersambung... 

NB: Bagaimanakah kelanjutan cerita Ahsan di pondok? Apakah Ahsan akan bertemu dengan teman-teman yang sama dengan dikampungnya? Atau malah akan bertemu dengan teman-teman yang nakal? Bagaimana dengan kabar percintaan Ahsan dengan Lusi? Apakah Lusi juga berhasil lulus ujian pondok?

Nantikan kelanjutan ceritanya hanya di: gilaangromadhon.blogspot.com
twitter: @geeromadhon

Link cerita sebelumnya:  Ahsan: Journey in Pondok (#1)
                                         Ahsan: Journey in Pondok (#2)


Jangan kemana-mana tetap nantikan kelanjutan ceritanya yah! :D

2 comments:

  1. ada aroma negeri 5 menara ni kayaknya :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hahaha Negeri 5 Menara emang jadi pedoman saya menulis cerita ini, jadi kebawa deh :D
      Tpi jalan ceritanya tetep murni dari saya ko hehe
      Makasih udah mampir dan baca :)

      Delete