Sunday, February 23, 2014

Ahsan: Journey in Pondok (Ujian Tulis dan Lusi) #2


Ahsan: Journey in Pondok! (Ujian Tulis dan Lusi)

Pagi-pagi sekali aku sudah bangun dan bersiap-siap untuk pergi ke pondok. Hari ini aku akan mengikuti ujian tulis. Rencananya aku dan Orangtua-ku akan menumpang naik mobil temanku Lusi. Lusi adalah teman kecil-ku. Mamah Lusi dan Ibu-ku adalah sahabat karib dari kecil. Rumah Lusi tidak jauh dari rumah-ku kami masih satu kampung, hanya diselak beberapa rumah saja aku sudah bisa bertemu dengan dia. 

Aku ingin bercerita sedikit tentang hubungan aku dengan Lusi. Waktu kecil aku sering sekali main ke rumah dia, dengan ditemani Ibu-ku tentunya. Lebih tepatnya sih aku yang menemani Ibu-ku main ke rumah Mamahnya Lusi. Ya sama aja deh! Pada intinya aku main ke rumah Lusi. Hehehe

Menurutku Lusi adalah seorang gadis yang manis, pintar, dan baik. Dari pertama kali aku kenal dia, dari saat itulah aku sudah tertarik padanya. Matanya yang sipit, mukanya yang berbentuk oval dan rambutnya yang panjang lurus terjuntai dengan bando dikepalanya (waktu dulu aku masih sering main ke rumahnya dia masih belum pake kerudung) dan kulitnya yang putih bersih akan membuat setiap laki-laki manapun merelakan waktunya habis begitu saja hanya untuk menatapnya. Ya dia merupakan Cinta pertama-ku. Ciee.. Ngomongin cinta jadinya nih! Hehehe Oke lanjut deh! 
Sayangnya aku tidak memilki keberanian yang tinggi untuk mendekatinya, untuk sekedar berkata “Hai” saja aku nggak berani buat ngelakuinnya. Aku memang cemen banget waktu itu. Bahkan sampai saat ini pun rahasia itu masih aku pendam rapat-rapat. Entahlah, apa yang dulu aku sering lakuin kalo lagi main sama dia dirumahnya? Sepertinya hanya duduk dan diem-dieman aja, atau sibuk dengan kegiatan masing-masing. Karena waktu itu aku masih berumur 4 atau 5 tahunan belum masuk sekolah. Dan yang paling bikin aku deg-degan adalah sekarang aku akan berangkat ke Pondok Al-Falaah menumpang mobilnya. Semoga aku nggak nervous.

Kurang lebih 2 minggu aku belajar setiap malam untuk persiapan mengikuti ujian tulis masuk Pondok. Setelah lelah berjuang membaca dan mengerjakan semua latihan soal setiap malam. Hari ini aku akan berjuang kembali untuk berperang melawan sekumpulan soal yang nanti akan aku hadapi di Pondok. Setelah itu aku hanya bisa tawakal dan menyerahkan semuanya pada Allah. Semoga hasilnya sesuai dengan apa yang aku dan Orangtua-ku harapkan.

***

Sekarang aku sudah siap dan berdiri tegak tepat berada di depan rumah Lusi. Hati-ku selalu berdebar ketika hendak bertemu dengan dia. Entahlah mungkin aku sedikit nervous sekarang. Ibu-ku mencoba untuk mengetuk pintu dan mengucapkan salam.

Tok... Tok... Tok! “Assalamu’alaikum…!”

Tidak lama terdengar seruan Mamah Lusi dari dalam rumah.

“Wa’alaikumsalam…!” Kami mendengar suara detakan kaki dilantai yang semakin mendekat ke arah pintu. “Ceklek! Ceklek!” Dan pintu pun terbuka. 

“Wah… Udah siap nih! Ayo Masuk duduk dulu sambil nunggu Bapak-nya Lusi ngeluarin mobil” Ajak Mamah Lusi sambil menebar senyumnya.

“Iyah nih, saking semangatnya mau masukin anak ke pondok! Hehe” Jawab ibu-ku ringan.
“Tenang wae atuh santai, gimana Ahsan udah siap belum nanti buat ujian tulisnya?” Tanya Mamah Lusi iseng.

Setelah itu terjadilah obrolan yang hanya Ibu dan Mamah Lusi yang mengerti. Layaknya dua insan sahabat yang dipertemukan kembali setelah lama ditinggal jauh merantau pergi. 

Wajar setelah kami anak-anak mereka yang sudah hampir beranjak remaja, 2 insan sahabat ini sibuk dengan pekerjaannya masing-masing, ibu-ku sibuk berjualan pakaian di Pasar Labuan sementara Mamah Lusi sibuk sebagai Guru mengajar di SD Sukajadi 01 yang merupakan tempat Lusi sekolah juga, tentu saja kegiatan ini membuat keduanya tidak bisa saling ngobrol santai berdua layaknya yang biasa mereka lakukan dulu, terkecuali dipasar ketika Mamah Lusi belanja baju ditoko Ibu-ku.

Sementara itu Bapak-ku dan aku layaknya manusia yang diasingkan saat itu. Dari pada dikacangin gitu aja, aku dan Bapak-ku ngobrolin tentang pesantren yang nanti akan aku tempati. Bapak-ku merupakan Bapak yang super perhatian terhadap anak-anaknya, beliau selalu menyiapkan sedetail apapun yang aku butuhkan kelak ketika nanti di pondok. Mulai dari barang-barang, mental, pelajaran, lingkungan pondok, dan cara hidup mandiri ketika nanti di pondok. Aku selalu merasa senang sekali ketika berdiskusi dengan Bapak-ku. Aku merasa sedang mendapatkan tugas amanat dari agen intelegent yang wajib aku ikuti perintahnya karena amanat ini penting bagi kehidupan khalayak masyarakat luas. Aku merasa menjadi lebih dewasa ketika Bapak-ku memberikan kepercayaan yang tinggi kepada-ku. “Ahsan, dipondok nanti kamu harus bisa mandiri, jangan pemalu dan menyendiri, tapi kamu harus pandai bergaul dengan lingkungan dan keluarga baru kamu yang ada disana, yang penting kamu betah dulu aja, setelah itu baru tingkatkan prestasinya” Dan aku semakin semangat untuk menjalankan amanatnya.

***

Aku dan Orangtua-ku ditemani Mamah Lusi duduk di ruang tamu yang terletak persis di depan rumah Lusi. Aku mencoba untuk mencuri-curi melihat kedalam rumah mencari Lusi. Aku belum melihatnya sejak dari tadi. Mungkin dia sedang dikamarnya sedang bersiap-siap. Pikir-ku. Sebenarnya aku merasa malu jika bertemu Lusi, entah alasannya apa, yang jelas aku bisa menjadi salah tingkah jika dekat-dekat dengan perempuan, apalagi Lusi sebagai perempuan yang aku suka dari kecil. Dan itu sudah menjadi kelemahan-ku. Payah.

Tidak lama terdengar suara dari ruang tengah rumah Lusi.

“Mamah… Liat buku aku nggak? Semalem aku taruh dimeja ruang tengah disini!” Sedikit berteriak Lusi bertanya pada Mamahnya. Namun suaranya tetap terdengar lembut ditelinga-ku.

“Itu tadi Mamah beresin di rak buku disamping Kulkas, kesini dulu Lusi ini ada Ibu sama Bapaknya Ahsan udah dirumah, salim dulu gih!” Sambil berjalan sedikit kedalam, Mamah Lusi kemudian memanggil Lusi untuk bersalaman dengan kedua Orangtua-ku.

Lusi berjalan kearah kami dan bersalaman cium tangan kepada kami, kecuali aku pastinya. Dia hanya tersenyum dan mempertemukan dua telapak tangannya didepan badannya, begitupun dengan aku mengekor apa yang di peragakan oleh Lusi. Padahal aku sudah tidak sabar untuk menyalaminya sedari tadi. Hehehe. Seperti biasa Ibu-ku selalu memuji Lusi setiap kali bertemu dengannya.

“Waah… Lusi makin cantik aja kalo pake kerudung kaya gini!” Puji Ibu-ku. Dan aku mengangguk setuju.

Tidak ada kata-kata yang terucap oleh mulut Lusi, dia hanya tersipu malu sambil kembali menebarkan senyum manisnya kepada kami. Ya mungkin senyum itu tertuju kepada-ku juga.

***

Mobil Kijang Kapsul Silver sudah menderu-deru sedari tadi di halaman rumah Lusi, pertanda mesinnya sudah mulai panas dan siap untuk dipakai.

“Anak-anak semuanya duduk dibelakang aja, biar ibu sama bapak Ahsan duduk ditengah” Ucap Ayah Lusi mengomandoi kami. Sambil membuka pintu mobil yang ada di depan.

Pertama-tama Lusi masuk terlebih dulu ke Jok paling belakang disusul dengan aku kemudian barulah kedua Orangtua-ku masuk kedalam mobil menduduki Jok yang ada ditengah dan dibagian Jok depan kanan ada Ayah Lusi sang Komando Mobil dan Mamah Lusi dengan manis siap duduk menemani sang Komando di Jok depan kiri.

Dengan mengucap: Bismillahirrahmanirrahim, mobil yang kami tumpangi pun berangkat.

Kami melewati jalan yang sama ketika aku dan Orangtuaku survey ke Pondok dengan menggunakan motor sekitar 2 pekan kemarin. Yang berbeda adalah kali ini kami berada didalam mobil Lusi dan kami adalah 2 keluarga yang sama-sama memilki tekad untuk mengungsikan anaknya ke pondok.

Perasaan-ku sangatlah kacau saat ini. Bukan karena sebentar lagi aku akan berhadapan dengan soal-soal ujian tulis pondok, melainkan karena sekarang aku sedang duduk berdampingan dengan perempuan yang aku suka. Rasanya sungguh tidak enak sekali. Sesekali aku paksakan untuk menengok kearahnya sekedar ingin tau apa yang sedang dia lakukan. Dan aku melihat dia sedang buka-buka buku IPA dan membacanya dengan santai. Aku hanya bisa berdiam sambil melihat keluar dari jendela kaca mobil Kijang Kapsul Silver yang sedang kami tumpangi ini, yang aku lihat hanya pemandangan hijau dan beberapa pejalan kaki, atau para petani yang sedang mengarak kerbaunya ke pematang sawah. Tidak ada sepatah kata pun yang terucap dari mulut-ku atau dari mulut Lusi untuk membuka obrolan. Kami berdua sibuk dengan kegiatan masing-masing. Mungkin masih sama dengan kebiasaan bermain kami waktu dulu. Padahal harapan-ku waktu itu, bisa ngobrol dan bercerita santai dengan dia, tapi aku bingung mau memulainya dari mana. Jadi aku putuskan untuk diam saja.

Aku sedikit minder ketika melihat Lusi sedang membaca buku pelajaran (IPA). Sementara aku, merasa sudah siap seenaknya dan tidak membawa buku pelajaran hanya untuk sekedar dibaca-baca mengulang pelajaran. Lusi yang pintar saja dia masih sempat-sempatnya membaca didalam mobil. Dari pada galau, akhirnya aku putuskan untuk tetap tawakal dan menyerahkan semuanya pada Allah SWT. Bukankah aku juga sudah berjuang belajar kemarin-kemarin di rumah.

Disamping ketegangan yang aku rasakan didalam mobil, 2 Orangtua didalam mobil ini malah saling cerita dan mengobrol ria tukar cerita satu sama lain. Terkadang muncul ketawa-ketawa ringan yang keluar dari mulut Ibu-ku atau Mamah Lusi. Mereka layaknya 2 keluarga yang sedang asyik akan pergi berpiknik saja. Pikirku.

Ditengah perjalanan tiba-tiba saja obrolan kedua orangtua kami terhenti sejenak dan terdengar Ayah Lusi berkata kepada-ku seperti ini.

“San nanti kalo udah diterima di Pondok, jagain Lusi disana. Kan kamu laki-laki! Jadi kamu yang harus jagain perempuan!” Ujar Ayah Lusi usil. Diikuti oleh suara koor Ibu dan Bapak-ku menyetujui apa yang dikatakan Ayah Lusi.

Rasanya damai sekali ketika mendengar perkataan Ayah Lusi yang mempercayakan aku untuk bisa menjaga Lusi dengan baik, seolah-olah beliau sudah menyerahkan dan merelakan Lusi untuk-ku, untuk aku lindungi dan juga aku kasihi.

“Ooh i..iya pak!” Aku mengembangkan senyum, kikuk. Ada perasaan senang menyelimuti hati-ku.
Tapi aku meragu ketika aku melihat kembali sosok Lusi yang berada disamping-ku dia seolah-olah dingin dan sama sekali tidak merespon apapun. Dia cuek dan tidak peduli. Aku kulum kembali senyum yang aku berikan ketika merespon perkataan Ayah Lusi. Bingung.

Sudah setengah perjalanan kami lalui kami hampir sampai ke pondok yang kami tuju. Seperti biasa sajian panorama pegunungan khas Mandalawangi membuat mataku selalu ingin melihat ke sekitar ketika aku melewatinya.

Kami pun sampai ke depan gerbang pondok Al- Falaah.

Pondok Al-Falaah ramai dikunjungi oleh banyak orang. Banyak sekali orang-orang yang datang ke PF, berbeda dengan kemarin ketika aku survey kesini, kali ini PF dibanjiri oleh pengunjung dari berbegai darerah, yang mengantarkan anaknya untuk berjuang melawan soal-soal demi mendapatkan satu buah ranjang yang ada di PF. Dan agar bisa berjuang dan berjihad menuntut ilmu di PF.

Sebelum masuk kelas aku meminta do’a terlebih dahulu kepada kedua orangtuaku agar aku bisa dimudahkan dalam menjawab soal. Hari ini hari dimana kami calon santri baru harus mengikuti ujian tulis untuk menentukan apakah kami layak menjadi orang yang berhak untuk sekolah dan belajar di PF (Pondok Al-Falaah). 

Pondok bukan tidak mau menerima kami yang ingin belajar dipondok, tapi PF memiliki kapasitas ruang dan tempat yang terbatas. Maka dari itu PF mengadakan ujian untuk menyaring siapa saja yang lebih pantas untuk masuk kesini. Aku harus berjuang dengan sungguh-sungguh.

***

Aku dan Lusi menempati ruangan yang berbeda. Di PF kelas antara putra dan putri dipisah, tidak boleh disatukan. Aku mendapatkan tempat duduk dibangku paling belakang. Aku satu meja dengan Ari, barusan dia mengaku berasal dari Mauk Tangerang. Ruang kelas yang kami tempati sudah penuh terisi oleh para calon santri baru. Tidak lama dari itu muncul seorang anak muda berambut cepak, berbadan tinggi dengan menggunakan jas lengkap dengan sepatu pantopel mengkilap terpasang di kakinya. Kemudian dia mengenalkan diri.

“Asalamu’alaikum… Selamat datang di PF, sebelumnya perkenalkan nama ana Farid Ramadhan, ana yang akan menjaga ruangan ini selama ujian tulis ini berlangsung, sebelum ujian tulis ini dimulai silahkan satu diantara kalian maju kedepan untuk memiimpin do’a!” Dengan ramah dan santai Ka Farid memperkenalkan diri.

Ruangan kami pun hening sejenak, mendengar harus ada diatara kami yang maju kedepan untuk memimpin do’a. Suasana didalam ruangan jadi saling tengok kanan-kiri, depan-belakang. Bahkan ada yang sudah saling mengenal dan saling tunjuk untuk maju kedepan. Tiba-tiba seorang yang berperawakan besar dengan kumis tipis yang menyempul diatas mulutnya, maju kedepan.

“Saya! Saya akan memimpin do’a kedepan kak” Sambil mengangkat tangan, dia menwarkan diri. Kemudian kedepan dan memimpin do’a kami.

Aku kaget ketika melihat yang memimpin do’a didepan, wajar saja dia berani ke depan dan memimpin do’a, badan dan postur tubuhnya yang besar memang mengisyaratkan dia bukan selayaknya orang yang baru lulus sekolah dasar (SD). Apa benar dia juga yang akan menjadi teman-ku nanti jika aku diterima di PF? Apa mungkin dia berani mengulang menjadi kelas 1 kembali hanya karena ingin belajar ilmu agama yang ada di PF? Atau mungkin dia pindahan dari sekolah lain?. Ah, sudahlah ngapain juga aku mikirin itu, yang penting sekarang aku harus mengerjakan soal-soal yang udah ada dihadapan-ku ini.

Aku harus membuktikan kepada Orangtua-ku, Keluarga-ku, Teman-teman sekampung-ku, Orangtua Lusi, dan Lusi. Walaupun aku hanya seorang bocah yang berasal dari kampung dan kemari hanya menumpang mobil Lusi, tapi kualitas yang ada didalam diriku tidak jauh beda dengan mereka yang berasal dari kota. Aku harus bisa masuk Pondok ini dan mengembangkan bakat dan ilmu pengetahuan-ku. Aku harus bisa membuat bangga kedua Orangtua-ku. Aku selalu ingat apa yang dikatakan Bapak-ku. “A kalo nanti bisa sekolah dipondok ini, kamu bisa ngembangin ilmu agama sama ilmu umum kamu, dipondok ini juga kegiatan ekstrakulikulernya terkenal bagus, jadi harus semangat yah!” Begitu kata Bapak-ku menyemangati-ku.

2 jam sudah aku berada didalam ruang ujian, lembar jawaban pun sudah kami kumpulkan. Aku sudah tidak sabar ingin melihat hasilnya. Walaupun tadi aku sempat mendapatkan soal yang sulit sekali, tapi aku tetap lega karena aku sudah memberikan yang terbaik untuk ujian tulis ini.

“Oke lembar jawaban sudah berada ditangan ana semuanya, terima kasih sudah mengikuti ujian tulis ini dengan tertib, dan kalian nanti bisa lihat hasil ujian kalian ini di koran atau surat kabar 2 minggu lagi, atau kalian juga bisa langsung menelpon ke nomer telepon PF, untuk menanyakan apakah kalian berhasil lolos ujian ini atau tidak, sukron wasalamu’alaikum” Ujar Kak Farid menjelaskan kepada kami kemudian pamitan untuk pergi meninggalkan ruangan ujian.

Kami pun peserta ujian langsung ikut mengekor dari belakang meninggalkan ruangan ujian. Aku langsung bergegas menemui kedua Orangtua-ku. Ternyata disana sudah ada Lusi dan Orangtua-nya.

“Gimana ujiannya? Bisa?” Tanya Ibu-ku.

“Alhamdulillah bisa bu,” Dengan percaya diri aku menjawab bisa. “Tapi ada satu soal yang di pelajaran Matematika yang gak ke jawab sempurna” Aku menambahkan jawabanku.

“Yaudah gak papa yang penting kamu udah berusaha semampu kamu” Kata Ibu-ku berusaha menguatkan mental-ku. “Tadi Lusi juga katanya ada yang lupa sama jawaban yang di pelajaran Biologi, tentang hewan yang selalu menyesuaikan dengan lingkungannya?” Ucap Ibu-ku.

“Oh.. Itu kan bunglon yang bisa menyesuaikan atau beradaptasi dengan lingkungannya atau biasa disebut hewan mimikri  bu, kalo yang itu Ahsan bisa jawab” Aku mengembangkan senyum-ku.

Ternyata Lusi juga memilki kekurangan walaupun dia tadi sempat baca-baca buku IPA di mobil. Sebenarnya aku inginnya sih ngobrol dan shering dengan Lusi tentang pelajaran, soal, atau apapun deh, yang penting aku bisa berbicara dengan dia saat ini. Tapi aku selalu bingung untuk memulai dari mana? (Lagi-lagi bingung!) Dan ketika aku hendak menyapanya, aku selalu melihat wajahnya yang ramah sejuk tapi dingin sekali. Sehingga aku selalu mengurungkan niat untuk menyapanya. Aneh.

Ada sebuah kejadian, ketika aku masih kecil dulu sekitar kelas 2 SD dan aku sudah jarang main ke rumah Lusi waktu itu. Kebetulan aku baru mempunyai pesawat telepon baru dirumah ku. Dan aku diajari untuk menelepon beberapa nomor oleh Bapak-ku. Aku diajari menelepon ke rumah saudara-ku. Dan aku juga di ajari untuk menelepon ke rumah Lusi. Waktu itu aku sampai menghafal nomer telepon rumah Lusi dengan cepat. Ketika aku sedang sendirian di rumah. Aku iseng untuk menelepon ke rumah dia, aku menelepon ke rumah dia hanya untuk sekedar iseng coba-coba saja tidak ada kepentingan khusus.

Aku pijit nomer telepon satu per-satu dan kemudian terdengar suara “tut…, tut..., tut..,”digagang telepon yang sedang aku pegang tanda telepon sedang terhubung ke telepon rumah Lusi. Sebenarnya aku bingung mau bicara apa nanti ketika gagang telepon rumah Lusi diangkat. Apalagi nanti kalo yang ngangkatnya bukan Lusi bagaimana? Akhirnya aku tutup kembali telepon yang belum sempat diangkat itu.

Tapi aku penasaran ingin menelepon dia. Akhirnya aku mencoba sekali lagi, kali ini harus sampai diangkat batin-ku dalam hati. Telepon tersambung dan kembali suara “tut…, tut…, tut…,” terdengar di gagang telepon-ku. Tidak lama suara itu pun berhenti dan berganti menjadi sapaan suara Lusi.

Lusi: “Assalamu’alaikum, Halo… dengan Lusi, mau bicara dengan siapa?” Sapa Lusi, diseberang telepon di rumahnya.

Aku: … (Bingung)

Lusi: “Halo? Siapa ya? Ada keperluan apa menelpon?” Masih dengan nada yang lembut.

Aku: … (Ketakutan)

Lusi: “Ini siapa sih?” Kali ini agak sedikit kesal.

Aku: … (Makin Bingung)

Lusi: “Klek” Menutup telepon.

Aku: “Fiuuuhhh…” Menghela napas. “Akhirnya ditutup juga teleponnya” Batin-ku dalam hati. Hehehe

Mengambil hikmah dari kejadian ini, aku selalu bingung untuk bisa berkomunikasi dengan seorang perempuan. Lewat telepon saja aku tidak berani, apalagi secara langsung face to face.

Setelah kegiata ujian tulis hari ini selesai kami pun langsung beranjak pulang. Semoga hasil yang kami telah usahakan hari ini bisa sesuai dengan impian dan harapan kami. Aamiin. Bersambung...

***
NB: Apakah Ahsan dan Lusi akan berhasil lolos masuk pondok? Apa kegiatan yang dilakukan Ahsan ketika menunggu pengumuman dari pondok? Bagaimana kelanjutan kisah percintaan Ahsan? Apakah Ahsan tetap menjadi laki-laki yang cemen terhadap perempuan? Apakah Lusi juga diam-diam menyukai Ahsan? Nantikan kelanjutan ceritanya hanya di: gilaangromadhon.blogspot.com
twitter: @geeromadhon

Buat yang belum baca kisah sebelumnya, nih linknya: Ahsan: Journey in Pondok (#1)
Thanks for reading! :D

4 comments:

  1. "Apakah Lusi juga diam-diam menyukai Ahsan?" menarik buat ditunggu kelanjutan ceritanya..hehe...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Makasih udah mampir dan baca, ikutin terus kelanjutan ceritanya yah :D Hehehe

      Delete
  2. haha seru seru critanya, smngat trus ya ka gilang!!!!!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hahaha yaap, jangan bosen-bosen baca kelanjutannya yah :D

      Delete