“Apa mereka sudah tak takut akan siksaan Tuhan???” Umam mengeluh didalam hati. Sore itu menjadi sore yang kalut, hatinya
sesak, napasnya berhembus berbalapan dengan cepat, dia kecewa dengan
sang penguasa negeri ini, tugasnya hanya berduduk santai dan tak peduli
dengan rakyat yang memerlukan bantuannya. Sial.
“Aku benar-benar kesal rah dengan semua ini, sebenarnya apa sih
maunya mereka? Apa mereka tidak mengerti dengan tugas mereka sendiri?….” Umam mencoba mengeluarkan kesesakan didalam hatinya kepada Farah.
“Sabar.. sabar.. ini adalah cobaan bagi kita, aku juga baru tahu ternyata penguasa negeri ini tidak sebaik yang aku pikirkan” Farah mencoba untuk menenangkan.
Umam dan Farah adalah pemuda-pemudi negeri yang berprestasi dalam dunia perfilman indie, keduanya
sangat berantusias sekali untuk bisa menyajikan film yang bermutu dan
mengankat kebudayaan atau sejarah negeri ini yang mulai terlupakan.
Selama ini mereka telah berjalan hampir tujuh tahun memproduksi film
dengan bermodalkan swadaya, beberapa film yang diproduksinya bahkan
telah mendapatkan apresiasi atau juara diberbagai festival daerah maupun
nasional. Tapi sayangnya sampai saat ini pun belum ada bantuan atau
minimal sambutan hangat bagi mereka dari sang penguasa negeri ini.
Padahal untuk lebih semangat mengembangkan hobi mereka yang merupakan
sebuah kebanggan bagi negeri ini mereka butuh sambutan yang hangat.
Sudah berkali-kali Umam dan Farah memberikan proposal kepada penguasa
setempat, tapi tau apa yang mereka dapat? Nihil. Betapa sulitnya
penguasa negeri ini untuk memberikan dukungan bagi pemuda-pemudi yang
berprestasi seperti Umam dan Farah, semiskin itu kah penguasa negeri
kita ini? Padahal proposal yang diajukan sesuai dengan program kerja
yang mereka jalankan yaitu sang penguasa yang memegang amanah
melestarikan kebudayaan.
Tapi apa tindakan yang mereka lakukan? Mereka hanya berpangku tangan dan
mengunci rapat tangan mereka, mereka seolah takut akan kehabisan uang
dan seolah sedang kedatangan masalah ketika ada muda-mudi yang
berprestasi dan mengajukan anggaran, atau sebuah bentuk dukungan sekali
pun. Malang nian nasib negeri ini.
“Wah kami punya duit dari mana? Kalo untuk ini kami tidak bisa mengeluarkan… bla.. bla.. bla..”
Ocehan sang penguasa yang tak tau diri. Mereka sebagai orangtua
seharusnya menyambut hangat ketika ada anaknya yang berprestasi,
bukannya malah beralasan ngawur.
Minimal ketika memang benar tidak ada anggarannya saat itu tapi mereka
menerima dengan sopan dan bilang bahwa untuk saat ini anggarannya tidak
ada, kami sangat mendukung karya kalian, karya kalian bagus dan perlu
ditingkatkan, mungkin tahun depan kami baru bisa membantu. Dengan begitu
saja Umam dan Farah pasti akan sangat bangga dan bersemangat untuk
tetap terus berkarya walau memang belum bisa dapat anggaran biaya. Tapi
faktanya sang penguasa buta akan hal itu.
“Kalo bukan kepada mereka pada siapa lagi kita mengadu rah? Untuk
apa ada penguasa di negeri ini jika tak bisa berbuat apa-apa? Bahkan
hanya untuk melayani masyarakat pun enggan? enyah sajalah mereka itu
dari sini!!!!” Umam masih kecewa terhadap sang penguasa negeri.
Film sejarah yang digarap bersama teman-temannya sudah hampir selesei
hanya tinggal proses editing, film itu digarap hampir enam bulanan dan
berniat akan launching pada akhir bulan ini, tapi sayang seribu sayang
sang penguasa negeri ini tuli. Mereka hanya mementingkan diri mereka
sendiri. Dan sama sekali tak respon untuk itu.
Sore itu pun mulai kelam seiring risaunya hati Umam, matahari telah
berganti dengan bulan disertai bintang-bintang berkelip diangkasa, bagi
sebagian orang itu adalah malam yang indah untuk dinikmati dinegeri ini,
tapi tidak dengan Umam, pikirannya masih saja bergelut dengan kejadian
yang telah dialaminya siang tadi.
Dirinya seolah tak percaya, mengapa bisa kami dipimpin oleh penguasa
buta seperti itu? Manusia bertopeng itu penuh dengan sandiwara, mereka
hanya menginginkan nama baik dimata masyarakat tapi enggan untuk
berbuat. Mereka hanya bisa memakai topeng kebaikan yang dipakaikan oleh
wartawan dan jurnalis. Biadab memang.
“Apa peran mereka dinegeri ini? Bukankah mereka adalah pelayan
masyarakat? Tapi mengapa mereka seolah tak senang jika kedatangan
masyarakat? Apa mereka sudah lupa akan amanat yang mereka emban? Sungguh
terkutuk kau sang penguasa negeri jika kau bertindak seperti ini. Kami
sangat murka kepada mu.” Hati kecil Umam tak kuat menahan sesak, pikirannya pun menerawang jauh.
Umam pun berfikir, dia harus tetap terus maju dan dia harus terus
berjuang seperti tokoh yang ada didalam filmnya, tidak kenal lelah,
tidak kenal takut untuk melawan kejahatan, bahkan nyawa sekalipun
menjadi taruhannya.
“Aku harus tetap maju, perset*n dengan penguasa yang tak mau
membantu, tanpa mereka kami pun tetap bisa maju, kami harus membuktikan
bahwa kami bisa, bahwa kami mampu walau tanpa bantuan penguasa yang tak
bertanggung jawab, tenang saja kami tidak akan sekali-kali lagi mampir
kerumahmu.” Umam bertekad didalam hati dengan penuh keyakinan.
No comments:
Post a Comment